Foto: Gubernur Bali terpilih Wayan Koster
Denpasar
Gubernur Bali terpilih Wayan Koster menegaskan komitmennya untuk memperluas penggunaan aksara Bali pada periode kepemimpinan keduanya. Meskipun belum maksimal di periode pertama akibat pandemi COVID-19, Koster tetap mengapresiasi sejumlah hotel bintang lima di Kabupaten Badung yang telah tertib menggunakan aksara Bali.
“Dengan Pergub No. 80 Tahun 2018, saya harap semua pihak segera menerapkan aksara Bali. Faktanya, belum semuanya. Tapi saya melihat hotel-hotel bintang lima di Badung sangat tertib. Mereka sudah pasang aksara Bali di atas nama hotel,” ujar Koster dalam acara Bulan Bahasa Bali VII di Art Centre, Denpasar, Sabtu (15/2/2025).
Sebaliknya, Koster menyoroti masih banyak nama jalan di Bali yang belum sepenuhnya menempatkan aksara Bali di posisi yang semestinya, yakni di bagian atas.
“Nama-nama jalan masih banyak yang menggunakan pola lama, di mana aksara Bali justru dipasang di bawah,” tambahnya.
Mengapa Aksara Bali Harus di Atas?
Koster menjelaskan, aksara Bali bukan sekadar tulisan, tetapi warisan leluhur yang dimuliakan. Oleh karena itu, aksara Bali harus ditempatkan di bagian atas dari setiap nama brand atau papan nama resmi.
“Aksara Bali itu adiluhung, warisan yang luhur dan bernilai tinggi. Maka harus ditempatkan di atas sebagai bentuk penghormatan,” tegasnya.
Bulan Bahasa Bali, Kebanggaan Pulau Dewata
Sebagai pencetus Bulan Bahasa Bali, Koster menilai program tahunan ini membuat Bali lebih unggul dibanding provinsi lain. Tahun ini, program telah memasuki tahun ke-7 dan mendapat respons positif dari berbagai kalangan.
“Bali satu-satunya yang punya Bulan Bahasa. Provinsi lain tidak punya. Bahkan, regulasi seperti ini juga tidak mereka miliki. Kalau dibiarkan, bisa saja bahasa mereka punah,” sindir Koster.
Ke depan, Bulan Bahasa Bali tidak hanya akan diperingati setiap Februari, tetapi juga diperkuat dengan berbagai lomba dan kegiatan sepanjang tahun.
Acara Bulan Bahasa Bali VII Warsa 2025 kali ini juga diisi seminar bertema “Aksara Bali di Era Digital”, dengan narasumber dari akademisi hingga praktisi bahasa, seperti I Made Suatjana, Cokorda Adi Rai Pramartha (Dosen Unud), dan Dr. Ni Wayan Sariani.
Dengan langkah ini, Koster ingin memastikan aksara Bali tetap hidup, berkembang, dan menjadi identitas yang kokoh bagi generasi mendatang. “Tanpa aksara, kita kehilangan jati diri,” pungkasnya.