Foto: Klian Desa Adat Kesiman Denpasar, yang juga sebagai Ketua Forum Komunikasi (Forkom) Taksu Bali, Jro Mangku Wisna (JMW).
Denpasar, KabarBaliSatu
Gubernur Bali Wayan Koster dinilai telah mengambil langkah preventif dan tegas dalam menjaga Pulau Dewata dari potensi gangguan organisasi masyarakat (ormas) berkedok pengamanan.
Penegasan tersebut disampaikan Jro Mangku Wisna (JMW), Klian Desa Adat Kesiman Denpasar dan juga sebagai Ketua Forum Komunikasi (Forkom) Taksu Bali, yang menyebut bahwa pemerintah Bali sudah menutup pintu rapat-rapat bagi kelompok semacam itu, bahkan sebelum mereka muncul.
“Pak Koster tidak menunggu masalah datang. Beliau sudah lebih dulu membaca arah bahaya. Ormas-ormas yang datang dengan baju pengamanan tapi punya agenda lain, itu bukan untuk Bali. Itu sebabnya lahir Perda Nomor 4 Tahun 2019 dan Pergub Nomor 20 Tahun 2020,” ujar Jro Mangku Wisna, Minggu (4/5), di sela-sela kegiatan adat nyanggre Pengrebongan di Desa Kesiman Denpasar.
Peraturan tersebut, lanjut JMW, merupakan payung hukum yang mengikat untuk menegaskan bahwa sistem keamanan di Bali bersumber dari adat istiadat sendiri. Pecalang, sebagai ujung tombak pengamanan berbasis desa adat, telah menjalankan perannya sejak lama dengan kedekatan sosial dan kewibawaan budaya yang tidak dimiliki oleh ormas mana pun.
“Pecalang itu bukan aparat semu. Mereka tahu siapa yang tinggal di lingkungannya, siapa tamu yang datang, dan bagaimana cara mengedepankan dialog tanpa kekerasan. Ditambah dengan Sipandu Beradat, sistem kita sudah solid. Tidak perlu ormas luar yang justru bisa menambah keruwetan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kemunculan ormas-ormas yang tiba-tiba masuk ke pasar, proyek, atau kawasan adat sering kali membawa pola-pola yang mencurigakan. Ada yang beroperasi tanpa izin desa adat, ada pula yang justru meresahkan warga.
“Kalau datang bawa nama pengamanan tapi ujungnya maksa, minta jatah, atau bikin warga takut, itu bukan pengamanan. Itu pemerasan. Itu premanisme. Dan Bali tidak boleh kompromi soal itu,” katanya.
Lebih jauh, JMW menggarisbawahi bahwa kekhususan Bali dalam sistem hukum nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, memberikan hak konstitusional bagi pemerintah daerah untuk menjaga keotentikan adat dan budayanya. Ini termasuk menolak segala bentuk organisasi yang bertentangan dengan spirit kearifan lokal.
“Bali ini bukan tanah kosong yang bisa dimasuki siapa saja seenaknya. Kita punya aturan, punya adat, punya cara sendiri untuk menjaga keamanan. Bukan dengan kekerasan, bukan dengan pungli, bukan dengan intimidasi,” ujarnya.
Ia pun mengajak seluruh desa adat untuk tetap bersatu dan waspada. Ancaman ormas liar, katanya, tidak hanya fisik tetapi juga ideologis yang dapat menggerus nilai-nilai harmoni dan rasa aman yang telah lama menjadi ciri khas masyarakat Bali.
“Pak Gubernur sudah kunci gerbangnya sejak awal. Sekarang giliran kita semua, terutama desa adat, untuk berjaga. Jangan beri ruang, jangan beri celah,” tutup Jro Mangku Wisna. (kbs)