Foto: Anggota Komisi VI DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Bali, Gde Sumarjaya Linggih alias Demer.
Jakarta, KabarBaliSatu
Komisi VI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panitia Kerja (Panja) dalam rangka penyusunan Naskah Akademik (NA) dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Konsumen, Pada Rabu, 30 April 2025. Rapat yang digelar di Gedung DPR RI ini menghadirkan sejumlah narasumber kunci yang memiliki peran penting dalam pengawasan dan perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia. Tiga lembaga yang hadir memberikan pandangan dan masukan dalam forum ini adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Provinsi DKI Jakarta, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Terkait dengan RDP tersebut, Anggota Komisi VI DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Bali, Gde Sumarjaya Linggih alias Demer, menegaskan bahwa penyusunan regulasi baru dalam bentuk revisi undang-undang sangat mendesak dilakukan untuk menjawab dinamika zaman dan kompleksitas permasalahan konsumen saat ini. Politisi senior Golkar yang sudah lima periode di DPR RI itu juga menyoroti lemahnya perlindungan terhadap konsumen di Indonesia yang ditandai dengan sulitnya proses pengaduan serta minimnya sanksi terhadap pelaku usaha yang melanggar.
“Selama ini konsumen sangat sulit untuk mengajukan keluhannya, keberatannya. Kita juga melihat sanksi-sanksi terhadap produk atau jasa yang bermasalah itu belum maksimal, bahkan sangat minim,” ujar Demer yang dikenal getol memberdayakan para pengusaha UMKM Bali hingga dikenal sebagai pahlawan UMKM Bali.
Demer menjelaskan, undang-undang yang ada saat ini belum mampu menciptakan keseimbangan antara hak konsumen dan kepentingan pelaku usaha. Padahal, menurutnya, perlindungan konsumen yang kuat justru akan mendorong kemajuan dunia usaha karena kepuasan konsumen akan berdampak langsung terhadap reputasi dan keberlanjutan bisnis.
“Kita mau menyetarakan antara kepentingan konsumen dan produsen, baik itu produsen produk maupun jasa. Perlindungan ini bertujuan agar konsumen tetap mendapat haknya. Jika mereka puas, maka produsen juga akan semakin berdaya,” tegas Anggota Fraksi Golkar DPR RI itu.
Demer juga menekankan perlunya revisi UU Perlindungan Konsumen agar sejalan dengan dinamika global, di mana arus barang dan jasa lintas negara semakin tak terbendung. Ia menilai perlindungan konsumen yang ada saat ini perlu diperbarui karena tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini. Produk dari luar negeri sangat mudah masuk ke pasar Indonesia, begitu pula sebaliknya, sehingga regulasi yang sudah lama harus diperkuat dan disesuaikan dengan tantangan zaman yang terus berkembang.
“Produk dari luar sangat mudah masuk ke Indonesia, dan begitu juga sebaliknya. Undang-undang yang sudah lama ini perlu diperkuat dan disesuaikan dengan tantangan zaman sekarang,” kata Demer.
Selain itu, Demer juga mengangkat isu maraknya persaingan global, terutama antara produk dari Tiongkok dan Amerika Serikat, yang turut menimbulkan dampak pada pasar dalam negeri. “Kita lihat adanya penguatan barrier tax dari negara-negara besar. Maka dari itu, Indonesia juga harus menyesuaikan dan memperkuat regulasi dalam negeri agar dapat mengimbangi situasi global ini,” tambahnya.
Isu lain yang tak luput dari sorotannya adalah lemahnya perlindungan konsumen di sektor kesehatan, yang menurutnya menjadi salah satu alasan mengapa banyak masyarakat Indonesia memilih berobat ke luar negeri. Demer mengatakan, ketidakpuasan terhadap layanan kesehatan dalam negeri, ditambah dengan ketidakjelasan mekanisme pengaduan, membuat konsumen merasa tidak memiliki ruang untuk menyampaikan keluhan mereka secara efektif.
“Banyak yang keluar negeri untuk berobat karena mereka tidak puas terhadap pelayanan di dalam negeri dan tidak tahu ke mana harus mengadukan ketidakpuasan mereka,” ujar wakil rakyat yang sudah lima periode mengabdi di DPR RI memperjuangkan kepentingan Bali itu..
Dalam konteks era digital, Demer juga memberikan perhatian khusus pada peran e-commerce dalam menjaga integritas pasar. Ia menyoroti masih lemahnya pengawasan terhadap penjualan produk-produk yang tidak sesuai standar kesehatan dan keselamatan konsumen. Ia menilai perlu ada kerja sama yang erat antara BPOM dan YLKI dalam menertibkan aktivitas perdagangan digital yang tidak sesuai regulasi.
“Saya meminta agar kerjasama antara BPOM dan YLKI dalam hal pengawasan e-commerce harus diperkuat. Kalau mereka tetap melanggar aturan yang berlaku di negara kita, lebih baik ditutup saja e-commerce-nya,” tegas Demer.
Demer menegaskan, tanggung jawab pengawasan terhadap peredaran produk di ranah digital tidak hanya berada di tangan otoritas, tetapi juga melekat pada platform e-commerce. Menurutnya, platform-platform tersebut seharusnya memiliki sistem seleksi yang ketat untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Jika terdapat pelanggaran oleh pelaku usaha yang difasilitasi oleh platform tersebut dan tidak ada tindakan tegas dari pihak e-commerce, maka dapat dikatakan bahwa mereka turut terlibat dalam pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, Demer mendorong agar sanksi tegas diterapkan terhadap platform yang tidak menjalankan fungsi pengawasannya secara optimal.
“Biasanya mereka sudah punya perantara di Indonesia. Tapi kalau mereka melanggar aturan dan tidak ada tindakan dari e-commerce, artinya mereka turut serta dalam pelanggaran tersebut. Untuk itu, saya akan mengusulkan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran semacam ini,” pungkasnya. (kbs)