Foto : Fragmen Budaya Langonjali dalam Festival Semarapura VII di Catuspata Semarapura, Klungkung, Senin (28/4/2025).
Klungkung, KabarBaliSatu
Senin malam (28/4/2025) di Catuspata Semarapura, langit Klungkung tak hanya dihiasi bintang, tetapi juga cahaya dari semangat budaya yang menyala. Festival Semarapura VII resmi dibuka, dan panggung suci di titik nol kota menjadi saksi pertunjukan agung bertajuk Semara Langonjali, sebuah karya seni yang merangkai warisan budaya Klungkung dalam satu fragmen puitik yang menggugah jiwa.
Semara Langonjali bukan sekadar tontonan. Ia adalah narasi hidup masyarakat Klungkung, tentang bagaimana tradisi bertahan, tumbuh, dan mengakar dalam denyut sehari-hari. Dari tabuhan gamelan hingga derap langkah penari, setiap gerakan dalam pertunjukan ini menyampaikan kisah tentang leluhur, kepercayaan, dan harapan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pertunjukan dibuka dengan Barongsai dan Naga, simbol keberuntungan dari tradisi Tionghoa yang telah lama membaur dalam kehidupan budaya Indonesia. Gerak lincahnya memecah malam, menandai dimulainya perjalanan sakral ke dalam semesta budaya Klungkung. Disusul Barong Nong-nong Kling dari Desa Aan, warisan Ramayana yang hidup dalam rupa topeng, tarian, dan bunyi gamelan batel keklenangan. Seni ini bukan hanya memikat secara visual, tetapi juga dipercaya sebagai penolak bala, dan telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak 2021.
Lalu muncullah tradisi Dewa Maseraman dari Desa Paksebali, ritual agung di mana jempana para dewa ditabrakkan satu sama lain di mata air suci, melambangkan pertemuan yang membawa suka cita. Getaran spiritualnya terasa hingga ke relung hati.
Tari Baris Jangkang dari Nusa Penida menghadirkan suasana kontemplatif. Gerakannya meniru liukan alang-alang yang diterpa angin, halus, tapi kuat. Lalu, suara magis dari Tari Cak memecah keheningan. Tanpa gamelan, hanya vokal para penari yang mengiringi kisah Ramayana, menciptakan atmosfer magis yang membawa kita ke zaman para dewa dan ksatria.
Puncaknya, Sanghyang Jaran tampil memukau. Dalam keadaan trance, penari menari di atas bara sabut kelapa. Ini bukan sekadar aksi, tapi persembahan jiwa untuk menjaga keseimbangan alam dan manusia. Dan sebagai penutup, tari abadi Barong dan Rangda bertarung, melambangkan dua kutub kehidupan yang tak terpisahkan: baik dan buruk, terang dan gelap, hidup dan mati.
Karya ini digagas oleh I Dewa Gede Alit Saputra dan Sanggar Kayonan Klungkung, dengan dukungan puluhan komunitas seni lokal. Kepala Dinas Pariwisata Klungkung, Ni Made Sulistiawati, menyebut lebih dari 2.100 seniman terlibat dalam festival ini.
Semara Langonjali bukan sekadar perayaan seni. Ia adalah wujud cinta Klungkung pada budayanya sendiri, sebuah pengingat bahwa selama seni masih menari, jati diri kita tak akan pernah hilang.(kbs)