Foto: Komisi I DPRD Provinsi Bali saat menggelar rapat kerja bersama sejumlah instansi terkait di Ruang Rapat Gabungan DPRD Bali pada Senin, 23 Juni 2025.
Denpasar, KabarBaliSatu
Komisi I DPRD Provinsi Bali menggelar rapat kerja bersama sejumlah instansi terkait di Ruang Rapat Gabungan DPRD Bali pada Senin, 23 Juni 2025. Rapat bertajuk “Menyikapi Situasi Ketertiban dan Keamanan Masyarakat serta Penduduk Pendatang di Bali” ini membahas berbagai persoalan yang mengganggu stabilitas keamanan di Pulau Dewata.
Dalam forum tersebut, Anggota Komisi I DPRD Bali yang juga Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Made Supartha, menguraikan sejumlah persoalan aktual yang tengah dihadapi Bali, mulai dari aksi kriminal oleh warga negara asing (WNA), masuknya pendatang ilegal, maraknya kendaraan luar Bali (non-DK), hingga lemahnya fungsi pos polisi. Ia menyampaikan sejumlah rekomendasi konkret sebagai solusi penataan keamanan Bali secara menyeluruh.
Made Supartha menyoroti tingginya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh WNA, terutama di kawasan pariwisata seperti Kuta, Seminyak, dan Denpasar. Dalam dua hari penindakan saja, tercatat lebih dari 147 WNA ditilang karena pelanggaran lalu lintas, seperti penggunaan pelat nomor palsu atau pelat kustom bertuliskan nama pribadi.
Tak hanya itu, sejumlah WNA dilaporkan bekerja secara ilegal sebagai pemandu wisata, instruktur diving, fotografer, dan pelatih surfing tanpa mengantongi izin resmi. Aktivitas ini dinilai merugikan pelaku usaha lokal dan memicu kecemburuan sosial. Lebih ironis lagi, beberapa WNA bahkan menunjukkan sikap tidak hormat terhadap kearifan lokal, seperti menolak arahan pecalang saat upacara adat.
“Ini sangat mengganggu. Kita perlu penegakan hukum yang tegas, serta penguatan kerja sama antara aparat dan lembaga adat,” tegas Supartha.
Rapat juga membahas meningkatnya potensi penyusupan pendatang ilegal, khususnya melalui Pelabuhan Gilimanuk, Padangbai, Benoa, hingga Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Di Gilimanuk, misalnya, ditemukan upaya pembobolan pagar pelabuhan dan penggunaan jalur tikus oleh oknum yang menyusup menggunakan truk logistik atau kendaraan pribadi tanpa pemeriksaan identitas.
“Kelompok anak jalanan, pengamen hingga pelaku premanisme turut masuk tanpa prosedur yang jelas. Ini berbahaya,” ujar Supartha.
Di bandara, meskipun sistem keamanannya lebih baik, penyalahgunaan visa dan izin tinggal oleh WNA masih menjadi sorotan. Pengawasan di pelabuhan kecil juga dinilai belum optimal, sehingga rawan dimanfaatkan untuk penyelundupan manusia dan barang.
Komisi I merekomendasikan penguatan sistem keamanan terpadu di semua jalur masuk Bali, peningkatan koordinasi antara instansi seperti Imigrasi, Syahbandar, dan Kepolisian, serta pelibatan aktif masyarakat dalam deteksi dini.
Masalah ketertiban juga muncul dari pendatang lokal yang tidak melapor ke aparat desa atau tidak memiliki dokumen kependudukan yang lengkap. Beberapa di antaranya terlibat dalam kerusuhan, tindakan anarkis, dan konsumsi alkohol di ruang publik.
Kendaraan non-DK juga menjadi perhatian serius. Banyak kendaraan berpelat luar Bali digunakan untuk transportasi ilegal seperti ojek online dan rental liar. Bahkan, dalam beberapa kasus, kendaraan tersebut terlibat dalam tindak kriminal, seperti pemerkosaan terhadap wisatawan di wilayah Pecatu.
“Pemprov Bali sudah merencanakan surat edaran agar kendaraan non-DK yang beroperasi lebih dari tiga bulan wajib mengganti plat menjadi DK,” jelas Supartha.
Ia juga menekankan pentingnya upaya preventif terhadap kenakalan remaja, seperti geng motor dan aksi balap liar yang meresahkan masyarakat.
Komisi I menegaskan bahwa keamanan Bali tidak hanya bergantung pada aparat negara, tetapi juga kekuatan sosial budaya, khususnya peran desa adat. Pecalang, prajuru, dan lembaga adat lainnya terbukti menjadi garda terdepan dalam menjaga harmoni sosial.
Beberapa desa adat bahkan telah menerapkan sistem izin tinggal berbasis Surat Keterangan Adat (STLD) bagi pendatang. Pendekatan ini dinilai efektif sebagai bagian dari community-based security yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam pengawasan dan pencegahan gangguan ketertiban.
“Perlu ada regulasi daerah yang menguatkan otoritas desa adat dalam pendataan, pengawasan sosial, hingga penyelesaian konflik secara kultural,” ujar Supartha. Ia juga menambahkan bahwa sistem keamanan lokal seperti Sipadu Beradat harus diperkuat, termasuk pelatihan bagi pecalang agar bisa menjadi mitra tangguh bagi Babinkamtibmas.
Fungsi pos polisi di berbagai titik strategis di Bali juga menjadi sorotan. Pasca pandemi Covid-19, banyak pos polisi yang dinilai hanya berfungsi secara simbolik tanpa aktivitas pengawasan yang nyata. Beberapa pos bahkan sering kosong tanpa kehadiran personel, membuat efektivitasnya dalam mendeteksi gangguan keamanan menjadi sangat rendah.
Komisi I mendorong revitalisasi pos polisi sebagai pusat kontrol dan layanan cepat masyarakat. Evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan sumber daya manusia, pengawasan, serta integrasinya dengan sistem keamanan lingkungan sangat diperlukan.
Komisi I DPRD Bali menekankan bahwa keamanan Bali harus dibangun secara menyeluruh, berbasis hukum dan budaya lokal. “Bali harus tegas menolak segala bentuk pelanggaran hukum, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan harmoni sosial,” pungkas Supartha. (kbs)