BerandaDaerahDi Era Gubernur Koster, Pecalang Bangkit: Tegakkan Keamanan Berbasis Kearifan Lokal

Di Era Gubernur Koster, Pecalang Bangkit: Tegakkan Keamanan Berbasis Kearifan Lokal

Foto: Pecalang dan regulasi Gubernur Koster dalam sistem keamanan Bali.

Denpasar, KabarBaliSatu 

Sejak menjabat sebagai Gubernur Bali pada tahun 2018, Wayan Koster telah mengarahkan arah pembangunan Bali dengan sebuah fondasi yang tegas. Adat dan budaya bukan sekadar warisan, tetapi harus menjadi landasan dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan.

Dalam visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, Koster menjadikan desa adat bukan hanya sebagai simbol, melainkan sebagai institusi sosial yang aktif, dinamis, dan terintegrasi dalam sistem pemerintahan daerah. Salah satu inovasi paling menonjol dari visi ini adalah penguatan peran pecalang dalam sistem keamanan terpadu berbasis desa adat yaitu SIPANDUBERADAT.

Tidak seperti sistem keamanan konvensional yang sepenuhnya bergantung pada aparat negara, Bali punya pendekatan sendiri yang unik dan khas. Pecalang, pasukan adat yang selama ini dikenal menjaga ketertiban saat upacara keagamaan, kini mendapat peran yang lebih terstruktur dan luas. Dan semua itu dikukuhkan secara formal lewat kebijakan Gubernur Bali.

Pijakan hukumnya jelas dan kuat. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali menjadi tonggak sejarah pengakuan resmi desa adat sebagai subjek hukum publik. Dalam Perda ini, desa adat diakui setara dengan desa dinas, tetapi memiliki tugas dan fungsi berbeda yang berlandaskan nilai-nilai tradisional dan spiritual. Salah satu aspek penting dalam penguatan desa adat ini adalah sistem pengamanan yang berbasis komunitas lokal, inilah embrio dari lahirnya SIPANDUBERADAT.

Baca Juga  Bupati Satria Hadiri Upacara Diksa Pariksa, Harapkan Sulinggih Jadi Tauladan dan Pengayom Umat

Gubernur Koster kemudian mempertegasnya melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 26 Tahun 2020 tentang Sistem Pengamanan Lingkungan Terpadu Berbasis Desa Adat (SIPANDUBERADAT). Ia adalah forum koordinatif yang dirancang untuk menyinergikan seluruh unsur keamanan di Bali, dari pecalang, linmas, satpol PP, hingga kepolisian dan TNI. Sistem ini dibentuk secara berjenjang, mulai dari tingkat desa adat, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi. Ini adalah sistem pengamanan sosial yang bersumber dari bawah, dengan akar kuat pada kearifan lokal Bali.

SIPANDUBERADAT diresmikan secara nasional oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 28 Januari 2022 di Taman Budaya Denpasar. Kehadiran Kapolri tidak hanya simbolik, tapi menegaskan bahwa sistem keamanan berbasis adat ini diakui sebagai bagian dari arsitektur ketahanan sosial dan keamanan negara. Kapolri bahkan menyebut bahwa Forum SIPANDUBERADAT dapat menjadi model pengamanan wilayah yang khas, berbasis komunitas dan budaya lokal.

Lalu, apa peran pecalang dalam sistem ini? Perannya menjadi jauh lebih strategis dan bukan lagi sekadar penjaga upacara adat. Pecalang kini menjadi elemen aktif dalam patroli lingkungan, pendeteksian dini terhadap konflik sosial, pengawasan wilayah rawan narkoba, hingga pelibatan dalam mitigasi bencana.

Baca Juga  Ketua DPD NasDem Badung Dukung Gerakan Pangan Murah, Ringankan Beban Masyarakat

Mereka menjadi penghubung antara aparat formal dengan komunitas lokal. Sebuah jembatan yang mampu mengedepankan pendekatan persuasif yang tidak konfrontatif. Pecalang dihormati karena mereka bagian dari masyarakat itu sendiri. Mereka tahu siapa warganya, tahu adatnya, dan tahu bagaimana cara menegakkan ketertiban tanpa kekerasan.

SIPANDUBERADAT juga menjadi kanal bagi pemerintah provinsi untuk memberikan pembinaan dan bantuan secara terarah. Bantuan untuk operasional pecalang, pelatihan keamanan lingkungan, hingga insentif berbasis kinerja disalurkan dengan dasar hukum yang jelas dan transparan. Tidak ada lagi stigma bahwa anggaran untuk desa adat adalah bantuan sosial. Koster dengan tegas menyatakan bahwa itu adalah bentuk tanggung jawab negara dalam merawat akar budayanya.

Keberhasilan sistem ini paling nyata terlihat saat penanganan pandemi COVID-19. Ketika berbagai wilayah kesulitan menjangkau masyarakat hingga ke tingkat banjar, desa adat dan pecalang justru tampil menjadi ujung tombak.

Dari membatasi mobilitas, memastikan warga patuh protokol kesehatan, hingga membantu penyaluran bantuan sosial. Semua itu tidak mungkin berjalan tanpa koordinasi yang kuat dan SIPANDUBERADAT menjadi platform penghubungnya.

Baca Juga  Berpihak pada SDM Lokal, Gubernur Koster Akan Wajibkan Pengusaha Transportasi Pariwista dan Ojek Online Ber-KTP Bali, Kendaraan Wajib Plat DK

Namun tentu saja, tidak semua pihak sepakat. Ada yang menilai bahwa sistem ini bisa tumpang tindih dengan peran kepolisian atau satpol PP. Tetapi Koster punya pandangan lain. “Kalau negara punya polisi, Bali punya pecalang,” ujarnya dalam satu kesempatan. “Ini bukan tumpang tindih, tapi sinergi. Kita sedang membangun harmoni antara negara dan adat.”

Kebijakan ini telah membawa wajah baru bagi Bali. Sebuah wajah yang tidak hanya anggun dalam adatnya, tetapi juga kokoh dalam sistem pengamanannya. SIPANDUBERADAT menunjukkan bahwa adat bukan hambatan bagi kemajuan, tetapi justru kekuatan yang selama ini mungkin diabaikan oleh kebijakan nasional.

Dengan dasar hukum yang kuat melalui Perda Nomor 4 Tahun 2019 dan Pergub Nomor 26 Tahun 2020, serta legitimasi dari institusi negara seperti Polri, Gubernur Wayan Koster telah menciptakan sistem yang tidak hanya efektif, tetapi juga bernilai budaya tinggi.

Di Bali, keamanan bukan semata soal patroli dan senjata, tapi soal kedekatan, penghormatan, dan kearifan lokal. Dan pecalang adalah simbol paling nyata dari filosofi itu. Menjaga dengan jiwa, bukan dengan kekerasan. (kbs)

Berita Lainnya

Berita Terkini