Foto: I Dewa Gede Alit Saputra, Ketua DPD Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kabupaten Klungkung, yang lebih akrab disapa Dewa Kayonan, sosok seniman dan budayawan yang telah mendedikasikan dirinya untuk menjaga dan melestarikan seni budaya Bali selama lebih dari tiga dekade melalui Sanggar Kayonan.
Klungkung (KabarBaliSatu)-
Di tengah pesona Klungkung yang sarat dengan tradisi dan budaya, seorang pria telah berdedikasi seumur hidupnya untuk menjaga warisan leluhur. Dia adalah I Dewa Gede Alit Saputra, Ketua DPD Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kabupaten Klungkung, yang lebih akrab disapa Dewa Kayonan, sosok seniman dan budayawan yang kini menjadi harapan baru bagi masyarakat Klungkung. Melalui Sanggar Kayonan, yang telah ia dirikan sejak tahun 1992, Dewa Kayonan telah mendedikasikan dirinya untuk menjaga dan melestarikan seni budaya Bali selama lebih dari tiga dekade.
Lulusan Fakultas Sastra Indonesia Universitas Warmadewa ini dikenal sebagai sosok yang penuh semangat sejak muda. Keaktifannya dalam berbagai organisasi kepemudaan, termasuk menjadi Ketua Karang Taruna “SEWAKA SURA MANGGALA” di Semarapura Klod, telah menumbuhkan darah seni dalam dirinya. Dengan keyakinan kuat bahwa seni adalah jantung dari budaya Bali, Dewa Kayonan memulai perjalanannya sebagai pegiat seni dengan mendirikan Sanggar Seni Kayonan di tanah kelahirannya, Klungkung.
Sanggar Kayonan bukanlah sekadar tempat berkumpulnya para seniman, tetapi lebih dari itu, ia adalah tempat di mana jiwa-jiwa muda dipupuk dan dibimbing untuk menjaga nyala obor seni budaya Bali. Dalam kurun waktu 32 tahun, sanggar ini telah berhasil mencetak ribuan generasi muda yang kini menjadi penerus tongkat estafet seni budaya Bali.
Di balik kesuksesannya, Dewa Kayonan tetap merendah dan menegaskan bahwa Sanggar Kayonan bukanlah usaha bisnis, melainkan sebuah bentuk pengabdian seni, atau yang ia sebut sebagai Yadnya Seni. Baginya, Sanggar Kayonan adalah tempat untuk Ngayah, melayani dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan materi. Prinsip ini telah menjadikan Sanggar Kayonan sebagai pionir dalam dunia seni di Klungkung, sebuah sanggar yang lahir dari ketulusan dan dedikasi untuk melestarikan warisan budaya Bali.
Pria yang beralamat di Jl. Jempiring Gang Ix No. 4 Semarapura, Klungkung juga terlibat aktif dalam berbagai komunitas seni lainnya. Ia pernah menjadi Sekretaris Komunitas Pelukis “Sanggar Dewata Indonesia” Bali pada periode 1998-2003 dan juga Sekretaris HIMUSBA (Himpunan Museum Bali) dari 2003 hingga 2008. Dedikasinya tak hanya terbatas pada sanggar dan komunitas seni, tetapi juga dalam perannya sebagai Ketua Umum LISTIBIYA (Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan) Kabupaten Klungkung selama tiga periode berturut-turut yakni mulai dari periode tahun 2009-2014 dan berlanjut di periode2014-2019 hingga kembali berlanjut di periode tahun 2019-2024.
Dalam perjalanannya menjaga warisan budaya ini, Dewa Kayonan selalu membuka pintu Sanggar Kayonan bagi siapa saja yang ingin belajar. “Sampai saat ini, Sanggar Kayonan masih menjadi rumah bagi ratusan anak-anak yang ingin mendalami seni tari dan gamelan. Kami ajarkan mereka dengan ketulusan hati,” katanya dengan penuh kebanggaan.
Namun, Dewa Kayonan tidak hanya berhenti di situ. Ia juga kerap melakukan *Ngayah* di berbagai desa, menciptakan karya seni baru, dan membawa semangat berkesenian ke seluruh penjuru Klungkung. Baginya, seni adalah keseimbangan, sebuah cara untuk menjaga harmoni di Bali dan Indonesia. Dengan keyakinan yang mendalam pada kekuatan budaya, ia percaya bahwa seni adalah cahaya yang akan menjaga Bali tetap cerah dan cemerlang.
Meskipun kini ia mulai melangkah ke dunia politik, Dewa Kayonan tetap teguh pada prinsipnya bahwa seni dan politik bisa berjalan beriringan. “Politik akan kami kemas menjadi seni berpolitik,” ujarnya dengan tegas, menegaskan bahwa ia ingin membawa pendekatan yang berbeda dari politisi lainnya.
Ia bertekad untuk memperjuangkan pelestarian dan kemajuan seni, budaya, dan adat di Klungkung, dengan keyakinan bahwa dukungan dari pemerintah, baik dari segi legislasi maupun penganggaran, sangatlah penting.
“Jika tidak ada dukungan, para seniman di lapangan akan merasa seperti anak yatim piatu yang tidak memiliki orang tua yang mengasuh mereka,” pungkas Dewa Kayonan, mengakhiri dengan pesan yang kuat tentang pentingnya kebersamaan dalam menjaga warisan budaya. Dengan semangatnya yang tak pernah padam, Dewa Kayonan membawa harapan baru bagi Klungkung menuju era yang lebih cerah, di mana seni dan budaya tetap hidup dan berkembang. (kbs)