Foto: Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Provinsi Bali, Gede Ngurah Ambara Putra, saat rapat koordinasi BMPS yang digelar di Yayasan Harapan Nusantara, Denpasar.
Denpasar, KabarBaliSatu
Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Provinsi Bali, Gede Ngurah Ambara Putra, kembali menggugah kesadaran publik dan pemerintah terkait urgensi peran sekolah swasta dalam sistem pendidikan Bali. Dalam rapat koordinasi BMPS yang digelar di Yayasan Harapan Nusantara, Denpasar, Ambara menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan bahwa pendidikan dasar wajib diselenggarakan tanpa pungutan, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Namun, ia menekankan, keadilan pendidikan tidak cukup hanya dengan landasan hukum. Kebijakan pelaksanaannya harus menyentuh realitas di lapangan, termasuk kompleksitas sekolah swasta yang terbagi dalam beberapa kategori: mandiri, semi-mandiri (subsidi), hingga yang menerapkan kurikulum khusus.
“Regulasi turunannya harus lentur dan kontekstual. Jangan sampai satu aturan diberlakukan untuk semua tanpa mempertimbangkan dinamika tiap sekolah,” tegas Ambara.
Ia juga menyoroti besarnya anggaran pendidikan yang dialokasikan Pemerintah Provinsi Bali melalui APBD—sebanyak 20 persen atau sekitar Rp 1,38 triliun pada 2024. Dengan jumlah siswa SMA/SMK mencapai 186 ribu, dana tersebut setara Rp 7,4 juta per siswa per tahun. Angka yang menurutnya cukup untuk mewujudkan pendidikan gratis yang inklusif dan merata, jika dikelola dengan efektif dan adil, termasuk untuk sekolah swasta.
Ambara mengkritisi tren pembangunan sekolah negeri baru tanpa kajian mendalam terkait daya tampung dan kebutuhan demografis. Langkah ini, kata dia, justru dapat memukul eksistensi sekolah swasta yang selama ini menjadi penopang sistem pendidikan di Bali.
“Sekolah swasta bukan kompetitor, tapi mitra strategis pemerintah. Kita membantu negara menghemat anggaran sekaligus memperluas akses pendidikan,” tandasnya.
Kekhawatiran BMPS bukan tanpa dasar. Angka Partisipasi Murni (APM) Bali di jenjang SLTA masih stagnan di angka 74 persen, tertinggal dari DIY yang memiliki pendapatan per kapita lebih rendah. Ini menjadi sinyal bahwa Bali butuh strategi baru yang lebih inklusif dan kolaboratif.
Rapat koordinasi ini pun menjadi panggung penting untuk memperkuat suara BMPS. Mereka tak hanya mengkritik, tapi juga menawarkan solusi: regulasi yang fleksibel, pemetaan kebutuhan sekolah secara menyeluruh, dan optimalisasi anggaran untuk seluruh ekosistem pendidikan.
Pesan BMPS Bali jelas—jika ingin mengejar ketertinggalan, pemerintah tak bisa bekerja sendiri. Sekolah swasta harus dirangkul sebagai mitra sejajar dalam misi mencerdaskan anak bangsa. (kbs)