Foto: Gubernur Bali Wayan Koster saat menghadiri Gala Dinner Inter-Island Tourism Policy (ITOP) Forum ke-26 di The Meru, Sanur, Jumat (20/6).
Denpasar, KabarBaliSatu
Suasana Gala Dinner Inter-Island Tourism Policy (ITOP) Forum ke-26 di The Meru, Sanur, Jumat (20/6), berubah menjadi panggung diplomasi budaya yang menggugah. Di hadapan delegasi dari berbagai negara, Gubernur Bali Wayan Koster mengangkat segelas arak Bali — bukan sekadar untuk bersulang, tetapi sebagai pernyataan politik: Bali menolak tunduk pada arus wisata murah yang merusak jati diri dan lingkungannya.
Tos arak Bali yang dilakukan bersama perwakilan dari Sri Lanka, Jepang, Thailand, hingga Zanzibar, bukan hanya selebrasi. Ini adalah sinyal kuat bahwa Bali tampil sebagai tuan rumah dengan martabat budaya tinggi. Delegasi mancanegara menyambut hangat, menikmati ritual lokal yang menyatukan semangat persahabatan lintas bangsa dengan akar tradisi Bali.
“Bali tidak menjual wisata murahan. Kami membangun pariwisata berkualitas yang menjunjung kearifan lokal,” tegas Koster dalam pidato bernada lugas. Tepuk tangan pun menggema di antara para pejabat tinggi negara sahabat, menandakan dukungan atas visi Bali yang menolak eksploitasi turisme massal.
Di panggung internasional ini, Koster tak ragu memamerkan kekuatan ekonomi Bali. Dengan hanya 4,4 juta penduduk, Bali berhasil menyumbang Rp107 triliun pada 2024—44% dari total devisa pariwisata Indonesia. Sebuah pencapaian yang menempatkan Bali bukan sekadar sebagai destinasi tropis, tetapi sebagai motor penting ekonomi nasional.
Namun Gubernur Koster tidak menutup mata terhadap problematika yang mengintai: sampah, kemacetan, perilaku turis asing yang ugal-ugalan, hingga alih fungsi lahan. Di forum bergengsi ini, ia menegaskan bahwa Bali telah bertindak: melarang plastik sekali pakai, mengadopsi kendaraan listrik, menerapkan pengelolaan sampah berbasis sumber, serta menertibkan turis asing dengan pendekatan hukum dan edukasi.
Tema ITOP Forum kali ini, “Natural and Cultural Resource-Based Wellness Tourism”, dinilai sangat selaras dengan arah baru Bali. Bukan sekadar destinasi keindahan, Bali ingin dikenal sebagai pusat penyembuhan alami, lewat pengobatan tradisional dan pertanian organik. Koster mengundang para delegasi untuk merasakan Bali secara otentik—melalui keramahan warganya, kedalaman budayanya, dan kekayaan produk lokalnya.
Puncak malam ditandai dengan tos arak Bali bersama empat tokoh utama: Gubernur Provinsi Selatan Sri Lanka, Wakil Direktur Jenderal Kebijakan Pariwisata Okinawa Jepang, Direktur Perencanaan Zanzibar Tanzania, dan Wakil Gubernur Provinsi Phuket Thailand. Sebuah momen simbolik, di mana diplomasi internasional menyatu dengan nilai-nilai lokal.
Di tangan Wayan Koster, arak Bali menjelma lebih dari sekadar minuman—ia menjadi ikon perlawanan halus terhadap globalisasi yang kerap melucuti identitas budaya. Dan malam itu, dunia bersulang, menghormati Bali yang tak goyah menjaga akar dan marwahnya. (kbs)