BerandaTokohTanpa Gubernur Koster, Bali Mungkin Tak Punya Perda Desa Adat, dan Aksara...

Tanpa Gubernur Koster, Bali Mungkin Tak Punya Perda Desa Adat, dan Aksara Bali Mustahil Dimuliakan

Foto: Gubernur Bali Wayan Koster.

Denpasar, KabarBaliSatu

Dalam panggung politik Bali lima tahun terakhir, satu nama mencuat tak hanya karena jabatannya, tetapi karena warisan kebijakan yang ditinggalkannya: Wayan Koster. Gubernur Bali dua periode ini tak sekadar hadir sebagai pemimpin administratif, tetapi sebagai arsitek utama perlindungan budaya dan identitas Bali lewat jalur hukum.

Sebelum Koster menjabat, Bali nyaris tanpa fondasi hukum yang kuat untuk melindungi bahasa, aksara, dan adat-istiadat lokal. Tapi itu berubah total sejak 2018. Di tahun pertamanya menjabat, lahirlah Perda Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 yang menjadi tonggak pelestarian Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali. Perda ini tak hanya simbolik—ia mewajibkan penggunaan aksara Bali di ruang publik, termasuk di papan nama kantor, sekolah, hingga fasilitas umum.

Baca Juga  Preman Berkedok Ormas Marak, Ketua NasDem Bali Desak Kepala Daerah Bertindak Tegas: Hentikan Izin Ormas Baru!

Tak berhenti di sana, Koster menancapkan lagi tonggak besar dengan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Ini adalah regulasi pertama yang memberi desa adat legalitas dan kewenangan kuat untuk mengatur wilayah dan masyarakatnya berdasarkan nilai-nilai lokal. Desa adat yang selama ini hanya dijaga secara tradisi, kini diakui secara hukum negara.

Langkah berikutnya makin strategis: Perda Nomor 5 Tahun 2019 menetapkan standar pariwisata berbasis budaya, memastikan Bali tak terjebak menjadi sekadar destinasi hiburan murahan. Disusul Perda Nomor 1 Tahun 2020 tentang Sad Kerthi, filosofi hidup masyarakat Bali yang kini menjadi panduan arah pembangunan Bali Era Baru.

Baca Juga  Gus Adhi Titip Pesan ke Koster-Giri: Jaga Budaya, Pertahankan Bali sebagai Destinasi Impian dengan Pariwisata Berkelanjutan

Untuk memastikan perda-perda ini berjalan, Koster tak ragu mengambil langkah teknis lewat Pergub. Pergub Nomor 80 Tahun 2018 mewajibkan aksara Bali hadir di ruang publik. Pergub 79 Tahun 2018 mewajibkan busana adat dipakai setiap Kamis, Purnama, dan Tilem. Sementara Pergub 99 Tahun 2018 mengangkat tenun tradisional Bali seperti endek dan songket sebagai identitas resmi dalam berbagai acara.

Dengan seluruh regulasi ini, Bali menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki sistem perlindungan budaya yang komprehensif, legal, dan hidup di tengah masyarakat.

Baca Juga  Demer Geram Hotel Restoran "Anti" Produk Lokal Bali: Air Putih Saja Harus Impor dari Italia

Secara politik, inilah warisan Koster yang tak bisa dikesampingkan. Tanpa visinya, mungkin hingga hari ini Bali masih bertahan hanya lewat upacara dan ingatan kolektif—tanpa pegangan hukum. Kini, berkat tangan dinginnya, warisan leluhur tidak hanya dihormati, tetapi juga dilindungi dalam bahasa undang-undang.

Dalam lanskap politik budaya Indonesia, nama Wayan Koster jelas tak akan mudah dilupakan. (kbs)

Berita Lainnya

Berita Terkini