Foto: Gubernur Bali Wayan Koster saat menghadiri Sosialisasi Penguatan Integritas, Budaya Antikorupsi, dan Gratifikasi bagi ASN Pemprov Bali serta Forum Penyuluh Antikorupsi (PAKSI) Provinsi Bali yang digelar di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Senin (4/11).
Denpasar, KabarBaliSatu
Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan pentingnya penguatan integritas, budaya antikorupsi, dan kesadaran gratifikasi di seluruh jajaran Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Provinsi Bali. Pesan itu disampaikan dalam acara Sosialisasi Penguatan Integritas, Budaya Antikorupsi, dan Gratifikasi bagi ASN Pemprov Bali serta Forum Penyuluh Antikorupsi (PAKSI) Provinsi Bali yang digelar di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Senin (4/11).
Kegiatan tersebut diikuti sekitar 300 peserta, terdiri atas pejabat eselon II dan III Pemprov Bali, anggota PAKSI, serta tim KPK RI yang dipimpin Plh. Direktur Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi, Sugiarto. Hadir pula Sekda Provinsi Bali Dewa Made Indra dan sejumlah kepala perangkat daerah.
Dalam sambutannya, Gubernur Koster menegaskan bahwa korupsi adalah “extraordinary crime” kejahatan luar biasa yang tidak hanya menghambat pembangunan, tetapi juga menghancurkan moral dan tatanan budaya bangsa.
“Korupsi menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Karena itu, pemberantasannya harus luar biasa — tidak cukup dengan OTT semata, tapi juga melalui sistem sosial yang berbudaya antikorupsi,” tegasnya.
Ia mengingatkan ASN agar tidak tergoda oleh praktik suap, sogok, atau kepentingan pribadi dalam proyek pemerintahan. Kasus-kasus operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah di luar Bali, katanya, harus menjadi cermin dan peringatan untuk menjaga integritas.
Koster menekankan, langkah pencegahan harus dilakukan masif dan sistematis, agar korupsi tidak menjadi kebiasaan sosial. “Budaya antikorupsi harus tertanam dalam perilaku, bukan hanya dalam aturan,” ujarnya.
Lebih jauh, Gubernur Koster menilai pendidikan etika dan moral sejak usia dini adalah pondasi membangun generasi berintegritas. Ia mencontohkan nilai-nilai sederhana dalam kehidupan masyarakat Bali yang sarat makna etis.
“Sejak kecil anak harus tahu bahwa mengambil barang orang lain tanpa izin itu salah. Bahkan larangan duduk di atas bantal mengandung makna menghormati sesuatu sesuai tempatnya,” jelasnya.
Menurutnya, kearifan lokal seperti itu menjadi benteng moral masyarakat Bali. “Jika nilai-nilai etika sederhana ini dilestarikan, maka generasi muda akan tumbuh dengan kesadaran moral yang kuat,” tambahnya.
Koster juga menegaskan komitmen Pemprov Bali dalam mewujudkan pemerintahan bersih, transparan, dan akuntabel. Ia menyebut capaian gemilang Bali dalam Monitoring Center for Prevention (MCP) yang dikelola KPK RI, di mana Bali meraih peringkat pertama nasional selama lima tahun berturut-turut.
Namun, Koster mengingatkan agar capaian itu tidak membuat jajaran ASN berpuas diri.
“Nilai MCP harus diraih secara objektif, bukan hasil manipulasi. Semua harus dilakukan dengan integritas,” tegasnya.
Selain itu, Pemprov Bali juga konsisten meraih Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI. Tetapi Koster menekankan bahwa predikat itu bukan sekadar simbol administratif.
“WTP bukan hasil ‘perdagangan’. Itu harus lahir dari kejujuran dan tanggung jawab dalam mengelola keuangan daerah,” ujarnya tegas.
Sejak dikukuhkan pada 2021, Forum Penyuluh Antikorupsi (PAKSI) binaan KPK telah memiliki 63 anggota yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Bali. Program ini, menurut Koster, menjadi motor utama dalam membangun kesadaran publik terhadap bahaya korupsi.
Pemprov Bali bahkan meraih penghargaan dari KPK RI tahun 2024 sebagai pemerintah daerah teraktif dalam pemberdayaan penyuluhan antikorupsi dan ahli pembangunan integritas melalui program PAKSI–API.
“Saya yakin penyuluhan antikorupsi yang masif dan menyeluruh akan mempercepat pemberantasan korupsi di berbagai bidang. Inilah modal utama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Koster.
Sementara itu, Plh. Direktur Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi KPK RI, Sugiarto, memberikan apresiasi atas komitmen Bali yang dinilai konsisten dalam membangun budaya antikorupsi.
“Program antikorupsi tidak cukup hanya full documented, tapi juga harus full implemented. Edukasi dan pencegahan harus sejalan agar hasilnya berdampak nyata,” ujarnya.
Ia juga menilai Bali memiliki potensi besar dalam mengembangkan model pendidikan moral berbasis kearifan lokal seperti awig-awig, karma phala, dan nilai etika adat yang dapat menjadi contoh nasional.
“Korupsi adalah musuh bersama. Kalau korupsi terjadi, orang kaya bisa menjadi miskin, dan orang miskin akan semakin banyak. Mari kita jadikan Bali pulau berintegritas, ramah lingkungan, dan bebas korupsi,” tutupnya. (kbs)

