Foto: Gubernur Bali Wayan Koster.
Denpasar, KabarBaliSatu
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Bali, negara hadir secara nyata mendanai dan sekaligus melindungi eksistensi desa adat. Bukan hanya secara administratif, tetapi juga secara hukum. Ini menjadi tonggak penting di era kepemimpinan Gubernur Wayan Koster, yang menjadikan desa adat sebagai pusat dari visi besar Bali Era Baru.
Sejak tahun 2019, Bantuan Keuangan Khusus (BKK) sebesar Rp300 juta per tahun secara konsisten digelontorkan kepada masing-masing dari 1.493 desa adat. Total anggaran mencapai hampir Rp448 miliar setiap tahun, langsung masuk ke rekening desa adat tanpa perantara, secara transparan dan tepat sasaran.
Bendesa adat kini tak lagi berjibaku mencari dana untuk upacara atau perawatan pura. “Dulu kami harus urunan besar-besaran untuk biaya upacara dan merawat pura. Sekarang bantuan dari pemerintah sangat meringankan, terutama bagi krama yang ekonominya terbatas,” ujar Bendesa Adat Kuta, Komang Alit Ardana, saat ditemui Minggu (18/5/2025).
Menurutnya, desa adat di Bali adalah sesuatu yang unik, bahkan tidak ada duanya di Indonesia. “Desa adat itu benteng utama Bali. Di dalamnya hidup adat istiadat, seni, budaya, dan nilai-nilai Hindu yang kami jaga turun-temurun,” kata Jro Bendesa yang dikenal dekat dengan masyarakat ini.
Melestarikan semua itu, menurut Alit Ardana, tidak cukup hanya dengan semangat. Dibutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak kecil. “Swadharma krama masih kuat, tapi kehadiran negara sangat berarti. Sekarang pemerintah ikut membantu menjaga warisan budaya ini agar tetap ajeg,” tambahnya.
Namun yang membuat era Koster benar-benar berbeda adalah mekanisme perlindungan hukum dalam pengelolaan dana tersebut. Melalui kerja sama dengan Kejaksaan Tinggi Bali, dua lembaga inovatif berbasis adat dan hukum dibentuk, yakni Bale Paruman Adhyaksa dan Bale Restorative Justice.
Dua gagasan brilian dari Kepala Kejati Bali, Ketut Sumedana, ini berfungsi sebagai payung hukum bagi desa adat. Bale Paruman Adhyaksa menjadi forum konsultasi antara jaksa dan masyarakat adat, sedangkan Bale Restoratif Justice memberi ruang penyelesaian konflik secara damai dan bermartabat, sesuai nilai-nilai lokal Bali.
Dengan sinergi ini, pengelolaan keuangan desa adat menjadi lebih akuntabel, terhindar dari penyalahgunaan, sekaligus memberi jaminan hukum bagi bendesa dan perangkat adat yang mengelola dana publik.
Tak hanya dana dan hukum, Koster juga memperkuat kelembagaan desa adat dengan mendirikan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat, membangun kantor Majelis Desa Adat (MDA) di seluruh kabupaten/kota, serta memberikan kendaraan operasional melalui program CSR.
“Desa adat adalah benteng utama peradaban Bali. Kalau desa adat kuat, Bali akan tetap ajeg di tengah arus globalisasi,” tegas Koster dalam pidatonya di hadapan bendesa se-Bali.
Kini, desa adat bukan hanya eksis sebagai simbol budaya, tetapi juga menjadi institusi sah yang diakui dan dijaga oleh negara, baik dari segi pendanaan maupun perlindungan hukum. Inilah warisan terbesar era Koster, membangkitkan desa adat bukan sekadar retorika, tapi realita berbasis anggaran dan sistem hukum. (kbs)