Foto: Gubernur Bali Wayan Koster.
Denpasar, KabarBaliSatu
Di saat banyak daerah kehilangan akar budayanya karena arus globalisasi, Bali justru bergerak ke arah sebaliknya. Di bawah kepemimpinan Gubernur Wayan Koster, Bali menemukan kembali rohnya. Tradisi, adat, dan desa-desa yang menjadi penjaga nilai luhur dari leluhur.
Langkah besar itu dimulai dengan lahirnya Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Bagi sebagian orang, ini hanya sekadar regulasi. Namun bagi masyarakat adat di Bali, ini adalah titik balik sejarah. Untuk pertama kalinya, desa adat tidak lagi sekadar simbol budaya, melainkan diakui secara hukum sebagai subjek pembangunan.
Sebanyak 1.493 desa adat di seluruh Bali kini berdiri tegak, bukan hanya karena sejarahnya, tetapi karena dukungan nyata dari pemerintah provinsi, baik secara kelembagaan maupun anggaran. Majelis Desa Adat (MDA) dibentuk, didanai, dan diperkuat sebagai ruang koordinasi dan pengambilan keputusan bersama antardesa adat. Inilah pendekatan pembangunan yang berpihak pada jati diri Bali.
Namun, tak semua pihak senang melihat kekuatan desa adat tumbuh di tangan pemimpinnya sendiri. Di balik layar media sosial, muncul akun-akun anonim yang menggulirkan narasi meremehkan.
Wayan Koster dipotret secara negatif, bahkan dianggap memperalat desa adat demi citra politik. Serangan itu kerap datang menjelang momen politik penting, seolah ingin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan berbasis tradisi.
Tokoh yang bekerja serius untuk masa depan Bali, menjaga adat dan budaya, melindungi lingkungan, dan mengambil langkah berani meski tak populer justru sering jadi sasaran. Diserang bukan karena gagal, tapi karena tak mengikuti selera pasar digital yang dangkal.
Meski demikian, narasi semacam itu tidak mampu menandingi kenyataan di lapangan. Desa adat kini punya kekuatan baru, tidak hanya untuk merawat tradisi, tapi juga mengelola dana pembangunan, menyusun tata ruang adat, hingga menginisiasi pendidikan dan pelestarian lingkungan berbasis kearifan lokal. Masyarakat merasakan langsung manfaatnya. Dana yang dulu sulit diakses, kini bisa digunakan untuk revitalisasi pura, penguatan kelembagaan adat, dan penanganan krisis seperti pandemi.
Jro Mangku Wisna, Bandesa Adat Kesiman sekaligus Ketua Forum Komunikasi Taksu Bali, menyampaikan rasa bangga dan terima kasih. “Perda ini bukan sekadar kebijakan. Ini adalah pengakuan terhadap jiwa Bali. Di era Pak Koster, kami diberikan hak dan kepercayaan. Kami tidak hanya menjaga warisan, tapi juga ikut menentukan masa depan,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (16/5).
Bagi banyak prajuru adat dan warga desa, apa yang dilakukan Koster adalah wujud nyata pemimpin yang berpihak. Ia membangun Bali dari banjar, dari pura, dari tradisi.
Maka tak heran jika rasa terima kasih mengalir dari berbagai penjuru desa adat. Karena bagi mereka, era Koster adalah era ketika suara desa kembali didengar. Ketika tradisi bukan lagi pelengkap seremoni, tetapi menjadi arah utama pembangunan Bali yang sejati. (kbs)