Foto: Anggota DPR RI Dapil Bali dari Partai Golkar, Gde Sumarjaya Linggih atau yang akrab disapa Demer.
Denpasar, KabarBaliSatu
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah menuai respons beragam dari elite politik. Salah satunya datang dari Anggota DPR RI Dapil Bali dari Partai Golkar, Gde Sumarjaya Linggih atau yang akrab disapa Demer. Ia menyebut keputusan ini sebagai tantangan baru sekaligus peluang strategis, khususnya bagi partainya untuk memperkuat basis elektoral di tingkat nasional.
“Secara prinsip, apa pun keputusannya, Golkar selalu siap. Tinggal kita sesuaikan dengan dinamika politik dan kondisi lapangan,” kata Demer kepada wartawan, menanggapi putusan MK tersebut.
Kerja Politik Lebih Berat, Tapi Lebih Terarah
Anggota Komisi VI DPR RI itu tidak menampik bahwa pemisahan Pemilu Legislatif untuk tingkat nasional dan daerah dipisah membuat kerja politik semakin kompleks, khususnya bagi para caleg DPR RI yang kini harus bergerak mandiri, tanpa lagi bisa mengandalkan sinergi langsung dengan caleg DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.
“Selama ini kami turun ke masyarakat itu bareng-bareng, tandem dengan DPRD kabupaten, provinsi, dan DPR RI. Sekarang dengan sistem terpisah, maka kami di DPR RI harus benar-benar keliling sendiri, menyapa masyarakat satu per satu,” ungkap wakil rakyat yang sudah lima periode mengabdi di DPR RI memperjuangkan kepentingan Bali itu.
Meski lebih berat, Demer melihat sisi positifnya: kedekatan lebih langsung antara wakil rakyat pusat dan konstituennya. “Ini jadi momen petahana di DPR RI lebih dekat dengan rakyat. Kerjanya makin kencang. Apalagi daerah seperti Papua atau Kalimantan, yang wilayah dapilnya bisa satu setengah kali Pulau Jawa, tantangannya luar biasa,” jelasnya.
Partai Besar Diuntungkan, Partai Kecil Tertatih
Menurut Demer, perubahan ini berpotensi menguntungkan partai-partai besar seperti Golkar yang memiliki struktur dan jaringan kader hingga ke tingkat desa. Sebaliknya, partai kecil akan cukup kesulitan, terutama dalam membangun jaringan mandiri untuk perebutan kursi DPR RI.
“Partai besar punya mesin yang siap jalan kapan saja. Tapi partai kecil seringkali bergantung pada jaringan caleg DPRD untuk mendorong suara DPR RI. Sekarang itu jadi lebih menantang buat mereka,” ujar politisi Golkar asal Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng itu.
Namun, ia juga mencatat bahwa dalam konteks Pilkada, partai kecil justru bisa lebih diuntungkan. Karena jika ada kekosongan jabatan kepala daerah selama dua tahun (diisi oleh Penjabat atau PJ), peluang untuk bersaing dalam Pilkada menjadi lebih terbuka.
“Kalau Pilkada dilakukan dua tahun setelah Pemilu Legislatif, maka tidak ada incumbent kuat. Ini bisa jadi celah bagi partai-partai kecil untuk merebut kekuasaan di daerah,” tambahnya.
Golkar Bali Fokus Rebut Kembali Dua Kursi DPR RI
Bagi Golkar Bali sendiri, Demer menilai pemisahan pemilu ini adalah momentum penting untuk merebut kembali minimal dua kursi DPR RI, yang sempat hilang pada Pileg 2024 lalu. Dengan konsentrasi penuh ke tingkat nasional, politisi senior Golkar yang digadang-gadang menjadi Ketua DPD Golkar Bali periode selanjutnya ini meyakini akan muncul lebih banyak petarung dari Golkar yang siap turun gelanggang.
“Kemarin yang benar-benar bertarung hanya tiga orang. Kalau tahun depan bisa lima sampai enam, saya yakin dua atau bahkan tiga kursi bisa kita rebut. Terutama kalau tokoh seperti Pak Geredeg kembali maju dari DPR RI, bukan DPD seperti kemarin,” paparnya optimis.
Demer juga menegaskan bahwa Golkar adalah partai yang sangat terbuka dan demokratis, serta menjadi ruang strategis bagi generasi muda yang ingin menyalurkan gagasan politik secara konstruktif.
Rezim Pemilu Lima Kotak Berakhir
Seperti diberitakan sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah resmi mengakhiri sistem pemilu lima kotak yang selama ini diterapkan dalam Pemilu Serentak. Dalam putusan terbarunya, MK menetapkan bahwa mulai Pemilu 2029, pemilihan nasional dan pemilihan daerah tidak lagi digabung, melainkan akan dilaksanakan secara terpisah.
Putusan ini merupakan hasil dari uji materi terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Pilkada, yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Mereka mempertanyakan efektivitas dan konstitusionalitas skema pemilu serentak yang selama ini dinilai membebani pemilih dan penyelenggara.
Apa yang Berubah?
Mulai 2029, Pemilu Nasional — yang mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD — akan dilaksanakan terpisah dari Pemilu Daerah, yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur, bupati, dan walikota beserta wakilnya.
MK menyatakan, pelaksanaan kedua pemilu ini wajib dilakukan dalam dua tahap, dengan jarak waktu antara 2 tahun hingga maksimal 2 tahun 6 bulan.
Alasan Pemisahan
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai bahwa pemilu serentak lima kotak selama ini justru menyulitkan pemilih untuk membuat keputusan yang cermat. Tak hanya itu, skema tersebut juga dinilai membebani penyelenggara pemilu dan partai politik karena jadwal yang terlalu padat.
Dengan pemisahan pemilu nasional dan daerah, MK berharap dapat meningkatkan kualitas demokrasi, memberi ruang lebih luas bagi pemilih untuk memahami calon dan program secara lebih mendalam, serta menjadikan proses pemilu lebih efisien dan tertib.
Arah Baru Demokrasi Indonesia
Putusan ini menjadi titik balik penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. MK menegaskan bahwa pemilu yang baik bukan hanya tentang kecepatan dan efisiensi, tetapi juga tentang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk memilih secara sadar dan bertanggung jawab.
Dengan model dua tahap yang lebih terstruktur, Indonesia diharapkan dapat melangkah menuju penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas, representatif, dan berkeadilan. (kbs)