Foto: Gubernur Bali, Wayan Koster, saat menikmati keseruan Perayaan Rahina Tumpek Krulut di Panggung Terbuka Ardha Candra di Taman Budaya Denpasar, Sabtu malam (7/6).
Denpasar, KabarBaliSatu
Di tengah dunia yang makin gaduh oleh polarisasi digital dan budaya asing yang merajalela, Bali tidak gentar kehilangan arah. Justru dari jantung budayanya, Pulau Dewata menjawab tantangan itu dengan cara yang paling elegan: merayakan cinta, dengan jati diri sendiri. Sabtu malam (7/6), Panggung Terbuka Ardha Candra di Taman Budaya Denpasar menjelma menjadi altar peradaban. Di sanalah, ribuan warga menyatukan hati dalam perayaan Tumpek Krulut, yang kini ditegaskan sebagai Hari Kasih Sayang versi Bali.
Gubernur Bali, Wayan Koster, hadir bukan sekadar sebagai kepala daerah, tapi sebagai juru bicara kebudayaan, penjaga pusaka warisan leluhur. Dalam pidato yang tak hanya menyentuh tapi juga menggugah kesadaran kolektif, Koster menyampaikan pesan keras namun halus: Bali tak butuh Valentine, karena cinta sejati telah lahir dari tradisinya sendiri.
“Tepuk tangan untuk budaya kita sendiri!” seru Koster lantang, memancing riuh tepuk tangan dari ribuan warga yang memadati panggung seni terbesar di Bali itu.
Koster menjelaskan bahwa Tumpek Krulut secara filosofis mengangkat pemujaan terhadap Dewa Iswara, manifestasi dari keindahan dan kebahagiaan. Dalam konteks kekinian, Krulut adalah momentum untuk menumbuhkan tresna lan asih—cinta yang tak terbatas hanya pada sesama manusia, tapi juga pada seni, alam, dan kehidupan secara utuh.
Tak hanya berkhotbah, Koster melangkah lebih jauh. Ia mengkritik derasnya arus digital yang kini kerap dipenuhi ujaran kebencian, hoaks, dan konflik identitas. Ia menyerukan agar generasi muda Bali bangkit sebagai agen peradaban di tengah dunia maya yang rawan terdistorsi.
“Gunakan media sosial untuk menyebarkan kebaikan, membangun peradaban sebagai orang Bali,” tegasnya, sambil menyoroti pentingnya etika digital yang berpijak pada nilai budaya.
Pemerintah pun tak tinggal di level simbolik. Dalam acara itu, tali kasih secara langsung diserahkan kepada siswa dan penyandang disabilitas. Ini bukan basa-basi seremonial, tapi bukti konkret bahwa negara hadir dengan empati, menyentuh langsung kehidupan masyarakat paling rentan.
Suasana malam itu tak hanya sakral, tapi juga hangat. Koster, dengan gaya khasnya yang santai namun mengena, sempat melontarkan guyonan yang disambut tawa riuh:
“Kalau belum punya pacar, sabar ya. Saya doakan ketemu jodoh terbaik,” selorohnya, mencairkan suasana yang sarat makna.
Puncak acara ditutup dengan penampilan Bayu KW, penyanyi senior Bali yang memberikan penghormatan khusus pada inisiatif Gubernur. Dengan mata berkaca-kaca, ia menyebut pengangkatan Tumpek Krulut sebagai Hari Kasih Sayang sebagai revolusi budaya.
“Baru kali ini Tumpek Krulut diangkat secara resmi sebagai Hari Kasih Sayang. Ini bukan hanya gagasan, ini gerakan,” ujarnya penuh haru.
Malam itu, Denpasar bersinar bukan karena lampu, tapi karena kesadaran kolektif bahwa cinta dan budaya adalah dua sisi dari mata uang yang sama: jati diri.
Koster menutup dengan menegaskan kembali misi besarnya:
“Budaya adalah jiwa dari pembangunan kita,” tandasnya, menancapkan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali dengan pendekatan paling halus: cinta.
Rahajeng Tumpek Krulut. Rahajeng Tresna lan Asih. Bali tak butuh meniru. Bali cukup menjadi dirinya sendiri—karena dari sanalah cinta itu berasal. (kbs)