Foto: Suasana sakral saat puncak ritual Sembahyang Rebutan pada Sabtu malam, 6 September 2025, di Kelenteng Caow Eng Bio.
Badung, KabarBaliSatu
Kelenteng Caow Eng Bio di Tanjung Benoa, Badung, yang dikenal sebagai kelenteng tertua di Bali, kembali melaksanakan ritual Sembahyang Rebutan pada Sabtu malam, 6 September 2025. Tradisi sakral ini menjadi agenda tahunan yang dinantikan, karena tidak hanya mengandung makna spiritual, tetapi juga nilai sosial dan budaya yang sangat tinggi.
Prosesi dimulai sejak sore hari dengan persembahyangan ke laut, sebuah simbol pembersihan diri sekaligus penghormatan kepada penjaga alam. Setelah itu, dilanjutkan doa bersama di Kelenteng Caow Eng Bio, sebelum mencapai puncaknya pada pukul 9 malam Wita melalui ritual rebutan. Persembahan yang dipersembahkan berupa kebutuhan pokok dan pangan, seperti beras, mie instan, minyak goreng, gula pasir, kue, buah-buahan, serta aneka persembahan lain yang ditata di atas meja altar.
Persembahan juga diserahkan kepada Pecalang, petugas kebersihan, fakir miskin, lansia, dan penyandang disabilitas yang ada di wewidangan Desa Adat Tanjung Benoa.
Ritual sembahyang Rebutan ini terasa istimewa karena dihadiri sejumlah tokoh, termasuk Dirjen Budha Pusat Jakarta dan Pembimas Budha Bali.
Tradisi Sembahyang Rebutan memiliki makna mendalam, di antaranya mendoakan arwah leluhur dan roh gentayangan yang terlupakan. Persembahan ini menjadi bentuk penghormatan sekaligus upaya menghindari malapetaka serta memohon keberkahan. Ritual ini juga dipercaya dapat menangkal bencana, membawa kesejahteraan bagi umat, dan menjadi wujud syukur kepada Malaikat Bumi.
Dewan Pertimbangan Kelenteng Caow Eng Bio Nyoman Suarsana Hardika menjelaskan, dalam tradisi Tionghoa, upacara ini dikenal sebagai Hungry Ghost Festival atau Zhong Yuan Jie, yang diyakini sebagai waktu ketika roh-roh gentayangan keluar dari alam baka untuk mencari makanan di bumi. Karena itu, altar persembahan diletakkan di luar kelenteng, di bawah langit terbuka, agar roh-roh tersebut dapat menerima dengan leluasa.
“Persembahan yang diperebutkan bukan sekadar simbol, tetapi juga sarana untuk menenangkan roh-roh yang semasa hidupnya tidak memiliki keturunan atau meninggal tragis. Keyakinan bahwa roh-roh ini hanya bebas setahun sekali memperkuat makna sakral ritual ini,” jelasnya.
Persembahan yang diberikan dalam ritual ini bukan hanya untuk roh-roh gentayangan yang terlupakan, tetapi juga bagi mereka yang semasa hidup berjuang namun tak sempat dikenang. Ini menjadi momen refleksi di pertengahan perjalanan Tahun Baru Imlek.
Setelah prosesi sembahyang selesai, seluruh persembahan yang ditata di altar disebarkan dan diperebutkan oleh masyarakat. Suasana penuh semangat ini selalu disambut antusias, mencerminkan rasa syukur, kebersamaan, serta keakraban antara umat dan pengurus kelenteng. “Di balik tradisi ini, terdapat nilai sosial yang kuat, karena hasil persembahan juga disalurkan kepada fakir miskin, lansia, penyandang disabilitas dan masyarakat yang membutuhkan,” ungkapnya.
Momentum sembahyang rebutan tidak hanya dimaknai sebagai tradisi persembahan untuk para roh, tetapi juga sebagai doa bersama agar Bali senantiasa dalam keadaan aman. Nyoman Suarsana Hardika menegaskan, perayaan ini menjadi ruang refleksi bagi umat untuk menjaga kerukunan, serta mempererat harmoni antarkeyakinan.
Sebagai daerah tujuan wisata dunia, Bali diharapkan tetap tenang dan tenteram. “ Saya yakin dengan kondisi yang damai akan memberikan rasa nyaman bagi wisatawan, sekaligus berdampak positif bagi kehidupan masyarakat secara luas,” tegasnya.
Nyoman Suarsana Hardika juga menyampaikan apresiasi kepada para donatur yang telah berkontribusi dalam tradisi sembahyang rebutan. Dukungan datang tidak hanya dari Bali, tetapi juga dari daerah lain seperti Jakarta, Batam, Riau, hingga Padang. Bentuk sumbangan yang diberikan beragam, mulai dari uang hingga sembako.
“Untuk tahun ini, jumlah donasi terbilang besar. Tercatat beras yang terkumpul mencapai sekitar 4.650 kilogram, mi instan sebanyak 160 dus, minyak goreng sekitar 500 liter, gula pasir kurang lebih 600 kilogram, serta kopi sachet dan kebutuhan pokok lainnya,” terangnya.
Seluruh bantuan tersebut juga telah dibagikan langsung kepada lansia, penyandang disabilitas, pecalang Desa Adat Tanjung Benua yang selama ini membantu pengamanan acara, hingga petugas kebersihan desa adat yang terlibat dalam persiapan dan pelaksanaan kegiatan.
Ketua Pengurus Kelenteng Caow Eng Bio, I Made Juanda Aditya, menjelaskan bahwa persiapan keamanan dalam acara sembahyang rebutan telah dilakukan secara matang. Panitia bekerja sama dengan desa adat, pecalang, Babinsa, hingga Bhabinkamtibmas Kuta Selatan. “Koordinasi juga telah disampaikan kepada Polsek Kuta Selatan guna memastikan kegiatan berjalan aman dan nyaman bagi umat maupun masyarakat yang hadir,” katanya.
Sebagai bentuk apresiasi, panitia turut menyalurkan bantuan sembako kepada pecalang Desa Adat Tanjung Benoa. Pemberian ini menjadi wujud penghormatan atas kerja keras pecalang yang selalu sigap menjaga keamanan selama jalannya acara.
Sembahyang Rebutan di Caow Eng Bio bukan hanya sebatas ritual keagamaan, melainkan juga menjadi ruang perjumpaan lintas agama. Umat dari berbagai kalangan, turut hadir dan larut dalam suasana kebersamaan. Kehadiran mereka mencerminkan toleransi, harmoni, dan cinta kasih yang melintasi batas kepercayaan. Lebih dari sekadar peristiwa spiritual, ritual ini menjadi simbol kerukunan umat beragama di Bali.
“Pengurus mapun umat yang ada di kelenteng ini tidak diperbolehkan ikut serta karena persembahan ini ditujukan bagi orang lain yang membutuhkan. Itu aturannya,” tegasnya.
Tradisi yang telah berlangsung turun-temurun ini terus dijaga dan diwariskan sebagai warisan budaya yang meneguhkan nilai kemanusiaan, mempererat ikatan sosial, sekaligus mengingatkan bahwa berbagi kepada sesama adalah inti dari kehidupan bersama.
Juanda Aditya juga menyampaikan apresiasi kepada para donatur yang telah mendukung jalannya tradisi sembahyang rebutan. Sebagian besar donasi datang dari luar Bali, dengan beberapa donatur hadir langsung untuk meramaikan acara.
“Dalam kesempatan ini, pengurus juga menyampaikan terima kasih kepada para donatur yang sebagian besar berasal dari luar Bali, termasuk dari Jakarta. Beberapa di antaranya turut hadir langsung untuk meramaikan acara,” katanya.
“Sebagai penutup, panitia memohon maaf apabila ada kekurangan dalam penyelenggaraan, sekaligus mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh umat dan donatur yang telah mendukung tradisi sembahyang rebutan tahun ini,” tutupnya.
Donatur rutin, Haneco Lau, hadir langsung menyaksikan tradisi sembahyang rebutan yang sarat makna dan nilai toleransi. Setelah masa pandemi COVID-19 berakhir, ia berkesempatan datang ke Bali dan mengetahui keberadaan salah satu kelenteng tertua yang memiliki nilai budaya penting, yakni Kelenteng Caow Eng Bio. Sejak itu, ia merasa memiliki ikatan khusus dengan kelenteng tersebut.
Haneco Lau kemudian berkenalan dengan Nyoman Suarsana Hardika, yang menyambutnya dengan ramah dan terbuka. Hubungan baik itu membuatnya kerap terlibat dalam berbagai aktivitas di kelenteng. “Saya merasa senang bisa berkontribusi melalui sumbangan, sebagai bentuk kepedulian dan berbagi kepada masyarakat, khususnya di kawasan Tanjung Benoa dan sekitarnya,” ungkapnya. Bagi Haneco Lau, Kelenteng Caow Eng Bio meninggalkan kesan yang begitu mendalam.
Kesan serupa juga datang dari donatur lainnya, Riduantan. Ia merasa bangga dapat ikut berkontribusi di Kelenteng Caow Eng Bio, yang dikenal sebagai salah satu kelenteng tertua di Pulau Bali. Sebagai wujud kepedulian, ia rutin memberikan bantuan sembako bagi masyarakat kurang mampu setiap tahun, tepatnya saat tradisi sembahyang rebutan dilaksanakan.
Bagi Riduantan, kesempatan berbagi melalui donasi bukan hanya bentuk solidaritas, tetapi juga bagian dari pelestarian tradisi leluhur yang sarat makna. “Saya harap ke depan semakin banyak donatur yang ikut aktif mendukung, sehingga Kelenteng Caow Eng Bio dapat terus berkembang, semakin maju, dan lebih dikenal luas oleh masyarakat di Pulau Dewata,” pungkasnya.
Antusiasme warga dan umat begitu terasa dalam pelaksanaan ritual Sembahyang Rebutan. Tradisi yang sarat makna ini disambut dengan penuh semangat, sekaligus menjadi ruang kebersamaan bagi masyarakat. Rasa syukur dan terima kasih pun mengalir kepada pengurus Kelenteng Caow Eng Bio yang telah menjaga dan melestarikan warisan budaya serta keagamaan tersebut. (kbs)