Foto: Para kepala daerah saat Retret Pembekalan Kepala Daerah 2025 di Lembah Tidar Akademi Militer (Akmil) Magelang.
Denpasar, KabarBaliSatu
Retret Pembekalan Kepala Daerah 2025 di Lembah Tidar Akademi Militer (Akmil) Magelang terus menjadi sorotan tajam. Mulanya, acara ini dikritik karena digelar di tengah efisiensi anggaran.
Biaya yang digunakan untuk retret ini tidak transparan, sementara daerah-daerah di Indonesia tengah menghadapi pemangkasan anggaran dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan dan kesehatan.
Namun, kini polemik semakin menguat setelah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri secara tegas meminta seluruh kepala daerah dari partainya untuk memboikot kegiatan tersebut.
Langkah Megawati ini bukan tanpa alasan. Retret kepala daerah yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar ajang silaturahmi atau koordinasi teknis.
Ini adalah strategi politik terselubung untuk membangun hierarki kekuasaan baru, di mana kepala daerah yang seharusnya otonom ditempatkan sebagai bawahan yang wajib berhadap-hadap dengan pusat.
Dengan cara ini, pemerintahan daerah tidak lagi memiliki independensi penuh dalam menjalankan mandat rakyat, tetapi dipaksa tunduk pada skema yang ditentukan oleh pemerintah pusat.
Dalam sistem pemilihan langsung, kepala daerah memiliki mandat rakyat yang sejajar dengan presiden, hanya berbeda dalam skala wilayah.
Retret semacam ini tidak hanya tidak relevan, tetapi juga berpotensi merusak sendi-sendi desentralisasi yang menjadi roh Reformasi 1998.
Desentralisasi telah terbukti meningkatkan efisiensi pemerintahan daerah, mempercepat pembangunan infrastruktur, dan memberikan kebebasan inovasi dalam pelayanan publik.
Ketika kepala daerah diposisikan sebagai subordinat, maka kreativitas daerah dalam mencari solusi akan terkekang.
Skema ini mirip dengan pola Orde Baru yang ingin mengendalikan kepala daerah. Kepala daerah punya basis kekuatan dan jaringan patronasenya sendiri.
Mereka bukanlah menteri yang bisa di-remote dari Jakarta. Dengan memaksa mereka hadir dalam forum tertutup, ada upaya untuk menguji sejauh mana kepala daerah bisa dikooptasi atau di-breakdown independensinya.
Jika retret ini menjadi rutinitas tahunan, maka pengaruh pemerintah pusat terhadap daerah akan semakin kuat, membayangi independensi kepala daerah yang seharusnya bertanggung jawab langsung kepada rakyatnya.
Retret ini bukan sekadar forum pembekalan, melainkan investasi politik jangka panjang untuk Pemilu 2029. Ada tiga agenda tersembunyi; mengidentifikasi loyalis dan penentang, membentuk mesin politik di tingkat tapak, dan meredam potensi oposisi daerah.
Dalam politik, loyalitas kepala daerah sangat berpengaruh terhadap kesuksesan seorang kandidat di tingkat nasional. Dengan menempatkan kepala daerah dalam posisi tunduk, pemerintah pusat akan lebih mudah mengamankan jaringan politik yang bisa digunakan dalam kontestasi mendatang.
Jika kegiatan semacam ini terus berlanjut, dampaknya bisa sangat serius. Sentralisasi kekuasaan akan mengikis hak-hak daerah dalam menentukan kebijakan sendiri. Lebih parah lagi, sentralisasi ini akan memperlebar jurang ketimpangan.
Daerah dengan sumber daya melimpah tapi dipimpin kepala daerah kritis akan dijegal, sementara daerah miskin yang penurut dihargai dengan bantuan seadanya. Ini bukan sekadar spekulasi, melainkan pola yang pernah terjadi di masa lalu.
Menurut data BPS, ketimpangan fiskal antar-daerah masih menjadi masalah besar di Indonesia. Pada tahun 2024, realisasi Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah tertentu turun drastis karena adanya kebijakan efisiensi.
Sementara itu, daerah-daerah yang memiliki hubungan lebih baik dengan pemerintah pusat justru mendapatkan anggaran tambahan dalam bentuk Dana Insentif Daerah (DID). Jika pola ini terus berjalan, maka ketimpangan antar-daerah akan semakin melebar, membuat daerah yang membutuhkan dana tambahan justru semakin tertinggal.
Jika agenda ini benar adanya, maka Indonesia tengah berada di persimpangan jalan demokrasi. Retret kepala daerah bukan lagi sekadar acara koordinasi, melainkan bagian dari strategi sistematis untuk melemahkan kemandirian daerah dan mengamankan kekuasaan jangka panjang bagi kepentingan tertentu di 2029.
Kepala daerah yang benar-benar berpihak kepada rakyat harus sadar bahwa retret semacam ini bukanlah ajang peningkatan kapasitas, melainkan strategi sistematis untuk menciptakan struktur kekuasaan yang semakin terpusat di tangan segelintir elite politik. (kbs)