Foto: Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali dari Partai Demokrat, I Komang Nova Sewi Putra.
Denpasar, KabarBaliSatu
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Bali tentang Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat dipastikan akan dibahas secara maraton oleh DPRD dan Pemerintah Provinsi Bali. Dengan kajian yang dinilai matang dan materi yang sudah lengkap, targetnya Raperda ini bisa disahkan pada 14 Agustus 2025, bertepatan dengan Hari Jadi ke-67 Pemerintah Provinsi Bali bertema Amukti Bali Hita (Mewujudkan Harmoni Bali Dwipa).
Jika berhasil, Bali akan mencatat sejarah sebagai provinsi pertama di Indonesia yang memberi desa adat kewenangan resmi menyelesaikan perkara hukum di tingkat akar rumput.
Pembahasan Raperda ini dijadwalkan dimulai dalam Rapat Paripurna ke-31 DPRD Bali, Senin (11/8/2025) di Ruang Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali. Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali dari Partai Demokrat, I Komang Nova Sewi Putra, menegaskan Raperda ini menjadi terobosan besar bagi desa adat di Bali.
“Desa adat akan punya kewenangan dan solusi untuk menyelesaikan persoalan, khususnya masalah adat, di tingkat desa itu sendiri,” ujar Nova di sela kegiatan donor darah HUT ke-24 Partai Demokrat di Banjar Belong Menak, Denpasar, Sabtu (9/8/2025), yang turut dihadiri oleh Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Demokrat Dapil Bali, Tutik Kusuma Wardhani, dan Bendahara DPD Demokrat Bali, Utami Dwi Suryadi.
Nova menilai, Bale Kertha Adhyaksa akan memfasilitasi penyelesaian sengketa adat, perkara pidana ringan, hingga konflik sosial secara restoratif, bekerja sama dengan aparat kejaksaan, kepolisian, perangkat desa, hingga pecalang. “Sehingga masalah-masalah kecil tidak sampai ke ranah hukum yang lebih tinggi. Yang besar seperti pembunuhan tentu tetap di proses pidana,” tambahnya.
Dari sisi substansi, Gubernur Bali Wayan Koster dalam penyampaian resmi di Rapat Paripurna sebelumnya menekankan bahwa Bale Kertha Adhyaksa adalah forum mediasi di tingkat desa adat, yang menjembatani hukum adat dan hukum positif. Forum ini diharapkan memulihkan hubungan antar pihak melalui musyawarah, bukan peradilan formal. “Ini adalah integrasi hukum nasional dengan hukum adat yang lebih membumi,” tegas Koster.
Nova menjelaskan bahwa Raperda Bale Kertha Adhyaksa masih dalam tahap pembacaan dan penyempurnaan. Berbagai masukan dari masyarakat akan terus dihimpun agar aturan yang dihasilkan tidak terkesan tergesa-gesa dan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Bali. Ia menegaskan, Perda ini memiliki fungsi penting bagi masyarakat, sehingga penyusunannya harus mengedepankan kepentingan publik dan tidak menimbulkan beban baru.
“Sehingga enggak ngawur juga, Perda ini tidak gampang, karena fungsi dari Perda ini sendiri juga untuk masyarakat Bali. Sehingga kita tidak ingin menyusahkan masyarakat, apa yang terbaik buat masyarakat itulah yang bisa dibuat,” tegasnya.
Menurutnya, konsep Bale Kertha Adhyaksa juga berpotensi menjadi model yang bisa diadopsi daerah lain di Indonesia, terutama yang memiliki karakteristik sosial dan budaya serupa dengan Bali. Sebagai ide awal, langkah ini dinilai sebagai terobosan penting yang memberi ruang bagi masyarakat adat untuk menyelesaikan permasalahan di lingkup desa adat mereka sendiri.
“Kalau memang ada daerah lain yang memiliki karakteristik hampir sama dengan Bali, bisa saja. Karena ini juga menjadi suatu ide awal ya, dan ini sebagai terobosan yang bagus untuk masyarakat adat ini bisa menyelesaikan masalahnya di desa adatnya sendiri,” katanya.
Dari sisi hukum, Nova menyebut seluruh kajian telah dilakukan secara matang oleh kejaksaan, Gubernur Bali, dan pihak-pihak terkait. Hasil kajian tersebut diyakini sudah memuat masukan terbaik dari masyarakat, sehingga Raperda ini diharapkan dapat diimplementasikan secara efektif dan berkelanjutan.
“Dari segi hukum, kajian-kajian, semua sudah dibuat oleh kejaksaan dan juga Pak Gubernur, dari pihak hukum dan semuanya. Sudah banyak kajian yang sudah dibuat, saya yakin itu juga merupakan masukan-masukan yang terbaik dari masyarakat juga,” jelasnya.
Nova optimistis percepatan pembahasan Raperda ini dapat terealisasi. Ia berharap pengesahan bisa dilakukan pada 14 Agustus 2025 sebagai kado manis untuk perayaan HUT ke-67 Provinsi Bali. Menurutnya, jika seluruh masukan masyarakat sudah terakomodasi dan substansi Raperda dinilai matang, maka pengesahan akan dilakukan secepat mungkin.
Langkah ini bukan hanya menjadi hadiah untuk desa adat, tetapi juga upaya memperkuat kedamaian dan kemandirian desa adat di Bali. Raperda ini bahkan akan menjadi yang pertama di Indonesia.
“Karena bukan apa-apa, ini juga hadiah untuk desa adat kita sendiri. Agar desa adat semakin damai dan desa adat kita yang punya, dan ini adalah pertama di Indonesia,” pungkasnya. (kbs)