Foto: Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali dari Partai NasDem Ir. Nengah Senantara.
Jakarta, KabarBaliSatu.com
Polemik larangan pengecer menjual gas LPG 3 kg akhirnya menemui titik terang. Setelah sempat dihentikan, kini pengecer kembali diizinkan berjualan atas instruksi langsung dari Presiden Prabowo Subianto. Sebelumnya, kebijakan yang mengatur distribusi LPG 3 kg hanya melalui pangkalan resmi sempat menimbulkan kendala bagi masyarakat, terutama ibu rumah tangga dan pelaku usaha kecil. Jarak yang jauh antara pangkalan dan konsumen dinilai menyulitkan akses terhadap bahan bakar tersebut.
Anggota DPR RI Dapil Bali dari Partai NasDem Ir. Nengah Senantara menyambut baik keputusan cepat Presiden Prabowo. Menurutnya, sistem distribusi melalui pengecer lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena mereka lebih mudah mendapatkan Gas Melon di lokasi-lokasi strategis. Dengan pencabutan larangan ini, distribusi LPG 3 kg diharapkan kembali lancar dan dapat menjangkau masyarakat kecil tanpa hambatan.
“Awalnya konsumen ataupun ibu-ibu rumah tangga dan masyarakat kecil itu ngambilnya di pangkalan. Bisa dibayangkan gak antara pangkalan dengan tempat dimana elpiji dipakai oleh ibu-ibu ataupun pengusaha kecil, itu jaraknya sangat jauh,” kata Nengah Senantara.
Anggota Komisi VI DPR RI itu menilai bahwa kebijakan sebelumnya justru membebani masyarakat kecil. Dengan distribusi terbatas ke pangkalan, banyak warga harus menempuh jarak hingga 50 kilometer untuk mendapatkan LPG 3 kg. Biaya tambahan pun tidak sedikit, mencapai sekitar Rp30.000 jika menggunakan jasa ojek online.
Selain itu masyarakat juga harus mengantre selama 4-6 jam di pangkalan, dengan risiko gas tidak tersedia setelah menunggu lama. Hal ini membuat banyak warga semakin tertekan, karena waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk bekerja atau beraktivitas habis hanya untuk mencari Gas Melon.
Nengah Senantara, menilai kebijakan sebelumnya membuat masyarakat “menjerit” akibat sulitnya mendapatkan gas LPG 3 kg di pengecer. Menurutnya, keberadaan pengecer sangat penting karena memastikan ketersediaan Gas Melon lebih dekat dengan masyarakat.
“Makanya masyarakat, saya katakan lagi, masyarakat menjerit, gas LPG Melonnya menghilang,” tegas politisi NasDem itu.
Menurut Nengah Senantara, sistem distribusi yang melibatkan pengecer lebih efektif karena memastikan ketersediaan LPG lebih dekat dengan masyarakat. Ia juga mengkritik kurangnya sosialisasi sebelum kebijakan baru diterapkan, yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga di berbagai daerah, termasuk Bali dan bahkan Jakarta.
Politisi NasDem asal Buleleng itu menegaskan bahwa kebijakan yang merugikan masyarakat kecil bertentangan dengan visi Presiden Prabowo yang ingin menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat. Dengan pencabutan larangan ini, distribusi LPG 3 kg diharapkan kembali normal, sehingga masyarakat dapat memperoleh gas subsidi dengan lebih mudah dan tanpa beban tambahan.
“Yang rugi itu masyarakat dan rakyat kecil. Tidak sesuai dengan harapan Pak Prabowo. Pak Prabowo selalu mengatakan bahwa beliau menjadi presiden adalah untuk mensejahterakan rakyat. Membuat keadilan untuk masyarakat,” ujar wakil rakyat berlatar belakang pengusaha sukses itu.
Nengah Senantara juga menyadari bahwa regulasi yang dibuat Kementerian ESDM bertujuan baik, tetapi kurangnya sosialisasi menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga di berbagai daerah. Menurutnya, sebelum menerapkan aturan baru, pemerintah sebaiknya memberikan waktu sosialisasi minimal 1-2 bulan agar masyarakat tidak terdampak secara tiba-tiba. Selain itu, ia menekankan bahwa kebutuhan LPG 3 kg terbesar justru berada di pedesaan, sehingga kebijakan distribusi harus mempertimbangkan aksesibilitas bagi warga di daerah terpencil.
“Karena yang kita tahu, kebutuhan, sekali lagi saya tekankan kebutuhan Gas Melon itu ada di pedesaan-pedesaan,” tegasnya.
Sekali lagi Nengah Senantara meminta pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengeluarkan regulasi. Jangan sampai regulasi yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat justru menjadi sebaliknya.
“Yang lebih menarik lagi, banyak masyarakat tidak tahu tempat pangkalan gas ada dimana, mau kemana dia, sehingga waktunya habis, biayanya tinggi. Rakyatnya menderita. Nah ini harus menjadi pertimbangan juga ketika akan mengeluarkan regulasi,” pungkasnya. (kbs)