Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH.
(Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan)
Hari Kesaktian Pancasila adalah monumen hidup yang meneguhkan warisan abadi Bung Karno. Dialah penggali Pancasila, Proklamator, dan Bapak Bangsa yang mengajarkan bahwa kesaktian Pancasila bukanlah mitos, melainkan kekuatan sejati yang menjaga Indonesia tetap tegak di tengah guncangan sejarah. Dari podium dunia hingga panggung tanah air, Bung Karno berulang kali menegaskan bahwa selama bangsa Indonesia berpegang teguh pada Pancasila, Republik ini tidak akan pernah roboh diterpa ombak zaman.
Hal ini secara historis dapat terlihat pada 17 Mei 1956 dalam kerangka kunjungan kenegaraan resminya ke Amerika Serikat, Presiden Soekarno dianugerahi kesempatan untuk menyampaikan pidato di hadapan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana didokumentasikan dalam halaman utama New York Times pada hari berikutnya, pidato tersebut secara fundamental memuat kritik keras terhadap kolonialisme. Soekarno secara gigih menegaskan bahwa: “Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad.” Pernyataan ini berfungsi untuk melegitimasi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Namun, Soekarno lantas memperluas argumennya, menyatakan bahwa perjuangan dekolonisasi belum rampung (unfinished business). Ia menantang audiensnya dengan pertanyaan retoris yang bermuatan politis: “Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?”
Pidato ini merupakan momen penting dalam diplomasi Perang Dingin dan upaya Soekarno untuk memosisikan Indonesia sebagai pemimpin pergerakan Non-Blok yang berkomitmen penuh pada penghapusan kolonialisme global.
Patut dicatat bahwa pidato Soekarno di Amerika Serikat pada tahun 1956 meskipun menyajikan kritik tajam terhadap kolonialisme, imperialisme, dan secara implisit terhadap kekuatan Barat, diterima dengan sambutan yang luar biasa di Amerika Serikat.
Fenomena ini lebih signifikan karena pidato tersebut menunjukkan konsistensi yang kuat dalam pemikiran dan sikap Presiden Soekarno. Semangat anti-kolonialisme yang terekspresikan dalam pidato tahun 1956 bukanlah sebuah pandangan yang baru.
Tulisan ini secara ringkas bertujuan untuk memaparkan pemikiran Soekarno terkait penolakannya yang fundamental terhadap kolonialisme, imperialisme, dan kritik ideologisnya terhadap elitisme. Pemikiran tersebut menjadi fondasi Pancasila yang hingga kini diperingati melalui Hari Kesaktian Pancasila, sebagai penegasan bahwa nilai-nilai yang digali Bung Karno tetap sakti menjaga persatuan bangsa di tengah berbagai ancaman.
Tantangan Zaman
Banyak bangsa lain yang gagal menghadapi tantangan zaman karena tidak memiliki ideologi pemersatu yang kokoh. Nepal misalnya, setelah monarki runtuh tahun 2006, terus diguncang demonstrasi besar yang kerap berakhir rusuh. Puncaknya pada 2015, ribuan massa turun ke jalan memprotes konstitusi baru; bentrokan dengan aparat menelan puluhan korban jiwa, melumpuhkan aktivitas nasional, dan memperdalam perpecahan etnis serta politik. Peristiwa itu menunjukkan rapuhnya persatuan tanpa norma dasar yang disepakati bersama.
Indonesia memiliki jalan berbeda. Kesatuan bangsa ini bertahan karena Pancasila bukan hanya dokumen normatif, melainkan juga philosophische grondslag (dasar filsafat) dan staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara).
Pancasila, sebagai dasar filosofis (Philosophische Grondslag) Republik Indonesia, dapat diinterpretasikan sebagai kritik fundamental terhadap dua kutub ideologi yang dianggap Soekarno tidak sesuai dengan karakter asli bangsa: individualisme ekstrem dan elitisme sosial. Visi ini bertujuan membentuk masyarakat yang berorientasi pada kolektivitas (kekeluargaan) dan keadilan sosial.
Menurut Soekarno, elitisme ini sama berbahayanya karena dapat diterapkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat sendiri melalui sistem feodal yang berlaku. Jika dibiarkan, sikap ini tidak hanya berpotensi memecah-belah masyarakat terjajah, tetapi juga berpeluang melestarikan sistem kolonial dan sikap-sikap imperialis yang sedang diperjuangkan untuk dilawan. Lebih jauh lagi, elitisme bisa menghambat berkembangnya sikap-sikap demokratis dalam masyarakat modern yang dicita-citakan untuk Indonesia merdeka.
Upaya Soekarno yang paling signifikan untuk melawan elitisme dan mengangkat martabat rakyat kecil dalam perjuangan kemerdekaan adalah dengan mencetuskan gagasan Marhaenisme. Berangkat dari pertemuan pribadinya dengan seorang petani bernama Marhaen, Soekarno merasa terdorong untuk memberikan perhatian lebih besar kepada kaum miskin di Indonesia dan peran penting mereka dalam melawan kolonialisme kapitalistik.
Mirip dengan peran kaum proletar dalam pemikiran Karl Marx, kaum Marhaen ini diharapkan menjadi kekuatan utama dalam revolusi melawan kolonialisme dan dalam membangun tatanan masyarakat baru yang lebih adil.
Terkait upaya mengatasi elitisme, Marhaenisme secara tegas “menolak setiap tindakan borjuisme,” yang menurut Soekarno, merupakan akar dari segala ketidakadilan dalam masyarakat. Soekarno memiliki pandangan bahwa rakyat tidak boleh dipandang rendah. Sebagaimana diungkapkan oleh Ruth McVey, bagi Soekarno, rakyat adalah “padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx.” Artinya, mereka adalah “kelompok yang saat ini lemah dan terampas hak-haknya,” tetapi yang kelak, ketika digerakkan dalam semangat revolusi, “akan mampu mengubah dunia.”
Saat ini, tantangan terberat Pancasila adalah mencegah kemunculan kembali elitisme baru yang berkamuflase dalam bentuk teknokrasi atau oligarki politik-ekonomi, yang justru bisa menumpulkan semangat Marhaenisme dan Keadilan Sosial. Pancasila menuntut setiap warga, terutama para pemimpin, untuk secara sadar menolak pandangan yang merendahkan rakyat dan memastikan bahwa setiap kebijakan berakar pada asas musyawarah-mufakat dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan demikian, ia berfungsi sebagai kompas moral yang memastikan bahwa Indonesia tidak hanya bertahan sebagai negara, tetapi juga terus bergerak menuju cita-cita masyarakat adil dan makmur yang sepenuhnya menolak borjuisme dan penghinaan terhadap harkat rakyat kecil, sebagaimana diamanatkan oleh pendiri bangsa.
Pelajaran dari sejarah dan dinamika global hari ini menegaskan relevansi permanen dari upaya Soekarno. Di era disrupsi digital dan persaingan geopolitik yang semakin tajam, tantangan terhadap persatuan bangsa tidak hanya datang dari perpecahan etnis atau politik, tetapi juga dari ketidakadilan ekonomi baru dan gerakan ideologi transnasional. Tanpa Pancasila sebagai benteng filosofis dan norma fundamental, Indonesia berisiko terperosok ke dalam konflik internal yang sama fatalnya dengan yang terjadi di banyak negara pasca-ideologi, di mana identitas primordial saling berhadapan tanpa ada nilai kolektif yang mengikat. Oleh karena itu, meneguhkan Pancasila bukan sekadar mengenang sejarah, melainkan sebuah kebutuhan pragmatis untuk menjaga stabilitas dan visi kolektif di tengah pusaran tantangan global.
Pemulihan Martabat Sang Penggali Pancasila
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila selalu terjalin erat dengan tragedi kelam G30S/PKI tahun 1965. Dalam suasana politik penuh kecurigaan, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan Presiden Soekarno. Ia dituduh gagal mengendalikan keadaan serta dianggap tidak berjarak dari pemberontakan. TAP ini bukan hanya mengakhiri kekuasaan Soekarno, tetapi juga menciptakan stigma hukum-politik bahwa dirinya berseberangan dengan Pancasila.
Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tetap menjadi subjek berbagai versi. Beberapa peneliti, seperti Peter Scott, menafsirkan G30S sebagai konflik internal Angkatan Darat yang kemudian sengaja diarahkan untuk menghancurkan PKI dengan tujuan akhir mengisolasi dan melengserkan Bung Karno. Sementara itu, versi resmi yang dikembangkan oleh Angkatan Darat di bawah pimpinan Jenderal Soeharto berhasil membentuk opini publik, yang pada akhirnya menghakimi Bung Karno sebagai pihak yang terlibat atau minimal dianggap gagal mengendalikan situasi pemberontakan. Dengan demikian, fakta sebenarnya dari keterlibatan PKI atau konflik internal AD menjadi kabur di balik narasi resmi yang dominan.
Proses ini berlanjut hingga Bung Karno dipaksa menyerahkan kedudukannya sebagai Presiden. Seperti yang diungkapkan oleh Adam Schwarz, penyerahan kekuasaan ini terjadi di bawah tekanan dan ancaman akan diseret ke pengadilan.
Pada akhirnya, Proklamator dan Bapak Bangsa ini secara tragis lengser dari jabatannya. Ia dikenakan status tahanan rumah dan menjalani interogasi maraton oleh perwira militer. Puncak dari penderitaan ini adalah fakta bahwa Bung Karno, sang pendiri Republik, pada masa tuanya harus menjadi pesakitan di hadapan bangsanya sendiri.
Seiring perjalanan bangsa, sejarah mengalami koreksi. Melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003, MPR menyatakan bahwa TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tidak berlaku lagi. Secara hukum tata negara, hal ini menandai pemulihan martabat Proklamator yang telah dituduh tanpa ruang pembelaan yang adil. Pencabutan tersebut bukan hanya sekadar tindakan administratif, melainkan sebuah langkah rekonsiliasi historis.
Dari perspektif hukum, pencabutan TAP MPRS itu mencerminkan fungsi hukum bukan hanya sebagai aturan positif (positive law), tetapi juga sebagai sarana menegakkan keadilan historis (historical justice). Hukum di sini berperan memulihkan martabat bangsa dengan mengakui kontribusi Bung Karno sebagai penggali Pancasila.
Bung Karno sendiri sejak awal menegaskan:
“Pancasila adalah satu-satunya alat pemersatu bangsa yang majemuk ini. Jangan sekali-kali kita meninggalkan Pancasila!” (Pidato di hadapan Sidang Umum MPR, 1960).
Kutipan ini menjadi bukti bahwa Pancasila adalah karya besar Bung Karno yang terus relevan. Pemulihan nama baiknya tidak hanya soal keadilan bagi seorang tokoh, tetapi juga pengakuan bahwa Pancasila lahir dari pergulatan intelektual dan spiritual bangsa melalui dirinya.
Kompleksitas Sejarah Pancasila
Pada tanggal 3 Agustus 1981, publik nasional diguncang oleh artikel “Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara” yang dimuat di harian Sinar Harapan. Artikel ini ditulis oleh Nugroho Notosusanto, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pusat Sejarah Militer ABRI.
Inti dari argumen Nugroho adalah bahwa Soekarno bukan perumus utama lima prinsip Pancasila. Ia berpendapat bahwa perumus utama Pancasila adalah Muhammad Yamin, disusul oleh Supomo, dan barulah kemudian Soekarno. Menurut Nugroho, peran Soekarno hanyalah sebatas memunculkan istilah “Pancasila” itu sendiri. Bertolak dari premis ini, Nugroho juga mempertanyakan dan menggugat keabsahan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila.
Menariknya, re-evaluasi sejarah Pancasila yang diusung oleh Nugroho ini berjalan paralel dengan kebijakan rezim Orde Baru di bawah Soeharto. Pemerintahan Soeharto kemudian menghapus peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni dan melarang semua bentuk perayaan pada tanggal tersebut.
Meskipun menuai keberatan dari berbagai pihak, rezim Orde Baru secara terbuka mengabsahkan premis Nugroho. Buktinya, pada tahun 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bahkan mengembangkan artikel Nugroho menjadi sebuah booklet setebal 69 halaman. Materi ini kemudian dijadikan bacaan wajib bagi para guru pengajar mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), yang menunjukkan upaya sistematis Orde Baru dalam mengubah narasi sejarah resmi.
Terdapat aspek yang dianggap kurang relevan dalam analisis Nugroho. Perumusan Pancasila adalah sebuah proses sejarah yang terjadi pada tahun 1945, namun Nugroho dinilai menghubung-hubungkannya secara kuat dengan kejadian di dekade 1960-an.
Nugroho berargumen bahwa generasi muda perlu memahami sejarah Orde Lama, khususnya perkembangan ideologi Marxisme-Leninisme, agar mereka tidak mengulangi kesalahan serupa karena ketidaktahuan. Ia juga secara eksplisit menegaskan bahwa pencabutan kekuasaan Soekarno oleh MPRS tahun 1967 adalah “faktor yang menjulang tinggi” dalam upaya pengamanan Pancasila dari ancaman Marxisme-Leninisme, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Kritik ini menunjukkan bahwa klaim Nugroho mengenai sejarah Pancasila tidak semata-mata akademik, tetapi sangat terikat pada kepentingan politik rezim Orde Baru untuk membenarkan penyingkiran Soekarno dan menanamkan trauma sejarah Komunisme.
Timbul pertanyaan mendasar mengenai relevansi tafsir sejarah yang disajikan oleh Nugroho Notosusanto. Alasannya, Nugroho sejatinya tidak sedang fokus membahas ancaman komunisme terhadap Pancasila atau kesaktian Pancasila dalam menghadapi rongrongan ideologi.
Faktanya, proses perumusan Pancasila secara normatif dan historis telah berakhir pada 18 Agustus 1945, ketika PPKI mengesahkan UUD 1945. Proses ini jelas berbeda konteks dengan perjalanan Pancasila sebagai dasar negara di masa-masa berikutnya.
Oleh karena itu, tindakan Nugroho yang menghubung-hubungkan perumusan awal Pancasila dengan sepak terjang politik dan kejatuhan Soekarno di dekade 1960-an dianggap terlalu jauh dan keluar dari konteks pembahasan yang seharusnya, yaitu lahirnya Pancasila. Argumennya dinilai lebih bersifat pembenaran politik daripada kajian sejarah murni.
Kasus Nugroho Notosusanto ini secara tajam menggambarkan bagaimana sejarah dapat diintervensi oleh kekuasaan. Dalam rezim otoriter Orde Baru, narasi tentang lahirnya Pancasila—sebuah philosophische grondslag bangsa—dimanipulasi dan diubah untuk menguatkan legitimasi politik Soeharto sekaligus mendelegitimasi peran sentral Bung Karno. Upaya ini, yang terlihat jelas dari penghapusan peringatan 1 Juni dan pemasukan narasi Nugroho ke dalam kurikulum wajib PMP, menunjukkan bahwa perdebatan tentang siapa perumus Pancasila bukanlah sekadar persoalan akademis tentang kronologi, melainkan senjata ideologis yang digunakan untuk menanamkan trauma anti-Komunisme dan membenarkan tindakan politik pelengseran Soekarno tahun 1967. Sejarah, dalam konteks ini, berhenti menjadi catatan masa lalu dan bertransformasi menjadi alat kontrol politik yang efektif.
Meskipun narasi Nugroho pada akhirnya dianulir setelah reformasi—dengan dikembalikannya 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila—kasus ini menjadi pengingat abadi akan kompleksitas dan kerapuhan narasi sejarah nasional. Kejadian ini menekankan pentingnya kejernihan dalam membedakan antara fakta sejarah perumusan tahun 1945 dengan tafsir politik pasca-kemerdekaan. Warisan kontroversi ini menuntut generasi penerus untuk selalu kritis dan mempertanyakan setiap tafsir yang disajikan, memastikan bahwa Pancasila dipahami berdasarkan nilai-nilai otentik dari para pendiri bangsa, bukan berdasarkan kepentingan rezim yang berkuasa pada suatu masa.
Pancasila bukan ideologi kaku, melainkan leitsar dinamis, bintang penuntun yang adaptif. Ia menjawab tantangan baru seperti digitalisasi, ekonomi hijau, hingga geopolitik global. Dalam dunia yang berubah cepat, Pancasila berperan sebagai pedoman moral dan hukum untuk mengarahkan pembangunan berkelanjutan.
Bung Karno menegaskan:
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak meninggalkan sejarahnya. Dan sejarah kita adalah sejarah Pancasila sebagai jiwa bangsa.”
Ungkapan ini relevan hari ini. Dengan Pancasila, Indonesia mampu menavigasi era disrupsi tanpa kehilangan jati diri.
Jalan Masih Panjang
Hari Kesaktian Pancasila adalah penegasan bahwa bangsa ini memiliki fondasi ideologis yang kokoh untuk menghadapi segala bentuk badai dan ancaman. Indonesia memiliki pelajaran berharga dari negara lain—seperti Nepal pasca-runtuhnya monarki—yang menjadi rapuh dan terus diguncang oleh demonstrasi besar yang berujung rusuh, semata-mata karena tidak memiliki norma dasar pemersatu dan konsensus bersama yang kuat.
Indonesia tidak terperosok ke dalam jurang perpecahan yang sama karena memiliki Pancasila. Nilai Pancasila, yang secara filosofis menolak elitisme ekstrem dan individualisme (seperti yang dikritik oleh Bung Karno), berfungsi sebagai jangkar. Penolakan terhadap elitisme ini selaras dengan semangat Marhaenisme yang dicetuskan oleh Soekarno, yang bertujuan mengangkat harkat rakyat kecil dan memastikan Keadilan Sosial menjadi ruh negara. Dengan demikian, Kesaktian Pancasila bukan sekadar mitos, melainkan realitas normatif yang terbukti menjaga kesatuan bangsa dan menuntut setiap warga untuk selalu berpegang pada semangat kolektivitas dan anti-borjuisme para pendiri Republik.
Pemulihan nama baik Soekarno setelah pencabutan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 menegaskan pesan penting: hukum bukan sekadar teks, tetapi alat rekonsiliasi sejarah. Kesaktian Pancasila tidak hanya berarti berhasilnya bangsa ini melewati ujian politik, tetapi juga kemampuannya memulihkan luka sejarah dan tetap menjadi pemersatu.
Pancasila adalah penjaga keutuhan bangsa, sumber hukum tertinggi, dan jiwa Indonesia. Selama Pancasila dihayati dan diimplementasikan, Indonesia tidak akan bernasib seperti negara-negara yang terpecah karena kehilangan pijakan.
Seperti kata Bung Karno:
“Selama bangsa Indonesia berpegang teguh pada Pancasila, selama itu pula Republik ini akan tegak berdiri, tidak goyah diterpa ombak zaman.”
Mengambil inspirasi dari seruan Bung Karno yang abadi, bahwa kita perlu “membangun dunia baru,” upaya besar itu kini harus kita mulai dengan lebih dahulu “membangun Indonesia baru.”
Pembangunan Indonesia baru ini secara krusial harus diawali dengan merekonstruksi elit politik kita. Kita membutuhkan elit politik yang benar-benar lahir dari rahim rakyat dan secara konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat.
Dalam visi Indonesia baru ini, harapan terbesarnya adalah agar tidak ada lagi kelompok elit yang kerjanya hanya sibuk berebut kekuasaan dan pengaruh—atau setidaknya, peran mereka menjadi sangat kecil dan tidak dominan. Elit yang dicita-citakan adalah mereka yang fokus mengabdi, sejalan dengan semangat anti-elitisme dan Marhaenisme yang dulu diperjuangkan oleh Bung Karno.
Dalam pidatonya di hadapan Kongres Amerika Serikat, Presiden Soekarno secara realistis mengakui kemajuan bangsa namun tetap waspada terhadap tantangan yang tersisa.
Soekarno menyatakan, “Kaki kami telah berada di jalan menuju demokrasi”. Namun dengan jujur ia menambahkan, “Tetapi kami tidak ingin menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa kami telah menempuh seluruh jalan menuju demokrasi.”
Bung Karno sepenuhnya sadar bahwa, meskipun bangsa Indonesia telah berjuang bertahun-tahun melawan kolonialisme, imperialisme, dan elitisme, jalan menuju demokrasi sejati masihlah sangat panjang. Namun, di saat yang sama, ia juga memahami betul prinsip mendasar: betapapun panjangnya sebuah perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama.
Dari perdebatan historis tentang perumusan Pancasila hingga perjuangan tanpa akhir melawan elitisme yang melekat dan ancaman yang terselubung, seluruh rangkaian sejarah ini menegaskan satu hal: Pancasila adalah fondasi pemersatu yang tak tergantikan. Meskipun jalan menuju demokrasi dan keadilan yang sejati masih panjang—seperti yang diakui oleh Bung Karno sendiri—langkah pertama dan terpenting adalah terus mewujudkan amanat anti-elitisme dan kerakyatan dalam praktik politik sehari-hari. Tugas kita ke depan adalah membangun Indonesia baru dengan elit politik yang sungguh-sungguh lahir dari dan berjuang untuk rakyat, memastikan bahwa semangat Marhaenisme dan cita-cita Keadilan Sosial tidak hanya menjadi retorika, tetapi menjadi kenyataan normatif yang mengikat, sehingga bangsa ini dapat menghadapi tantangan global dan terus melangkah maju dengan bermartabat. (kbs)