Foto: Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali, Made Suparta.
Badung, KabarBaliSatu
Batas waktu pembongkaran tembok kontroversial yang menutup akses warga adat Banjar Giri Dharma, Desa Adat Ungasan, Kuta Selatan, Badung, resmi berakhir pada Senin, 29 September 2025. Namun hingga detik terakhir, tembok yang dijuluki “penjara beton” itu tetap tegak, seolah menantang rekomendasi resmi DPRD Provinsi Bali.
Manajemen PT Garuda Adhimatra Indonesia, pengelola kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park, disebut sengaja mengabaikan ultimatum dewan. Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali, Made Suparta, menilai sikap GWK sebagai bentuk pembangkangan terbuka.
“Ini jelas pelanggaran tata tertib dewan. Kita bisa mengambil langkah paksa, mengevaluasi perizinan, hingga menghentikan sementara seluruh kegiatan di GWK demi kepentingan Bali dan rakyat Bali,” tegas Suparta usai rapat Pansus DPRD Bali terkait tata ruang dan perizinan, Senin (29/9).
Ketegangan ini berawal dari aksi pemagaran GWK pada September 2024 yang menutup akses keluar-masuk puluhan warga adat. Desa Adat Ungasan telah berkali-kali mengirim surat resmi, termasuk permohonan pergeseran pagar sesuai temuan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Badung yang menegaskan adanya jalan publik di atas lahan tersebut.
Namun, sejak 11 Februari 2025, surat bernomor 013/II/DAU/2025 yang ditandatangani Bendesa Adat Ungasan I Wayan Disel Astawa tak kunjung direspons. Bahkan, surat sebelumnya yang dikirim sejak 2024 pun diabaikan.
Desa Adat Ungasan menegaskan hanya meminta agar pagar digeser ke sisi timur dan utara, sesuai keterangan BPN, agar warga bisa mengakses rumah tanpa harus melintasi kawasan GWK. “Kami hanya minta hak jalan masyarakat dihormati. Perusahaan sebesar GWK seharusnya mau berkorban sedikit demi kepentingan publik,” ujar Disel Astawa.
Merasa buntu, warga akhirnya mengadu ke DPRD Bali yang pada 22 September 2025 menerbitkan rekomendasi pembongkaran dengan tenggat satu minggu. Alih-alih mematuhi, GWK justru memasang CCTV di titik-titik tembok, sehari setelah Komisi DPRD Badung meninjau lokasi.
Hingga kini, tembok yang “memenjarakan” warga adat Banjar Giri Dharma masih berdiri kokoh—menjadi simbol tarik-ulur kepentingan antara korporasi besar, hak masyarakat adat, dan ketegasan pemerintah daerah. (kbs)