Foto: Ilustrasi Sabdo Palon.
Denpasar, KabarBaliSatu
Di tengah derasnya arus zaman dan perubahan nilai-nilai kehidupan, seorang tokoh Bali, IB Darmika Marhaen atau yang lebih akrab disapa Gus Marhaen, tampil dengan gagasan monumental, membangun patung Sabdo Palon tertinggi di dunia. Tokoh yang juga dikenal sebagai Ketua Yayasan Perpustakaan Bung Karno sekaligus pendiri Museum Agung Bung Karno ini tidak sekadar mengukir bentuk fisik, tetapi berusaha memanifestasikan nilai-nilai spiritual dan kebangsaan yang diyakininya telah menjadi inti dari identitas Nusantara.
Bagi Gus Marhaen, Sabda Palon bukan sekadar tokoh sejarah atau mitologi Jawa. Ia mewakili empat nilai utama, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan kemakmuran. Nilai-nilai ini, menurutnya, tidak terikat pada satu bentuk. Sabdo Palon bisa dimaknai sebagai sosok, nilai, manusia, atau bahkan simbol dalam berbagai dimensi kehidupan.
Dalam perenungannya, Sabdo Palon dapat disejajarkan dengan figur Semar dalam dunia pewayangan, sebagai sosok tetua bijak yang menjadi penjaga moralitas dan penyeimbang kekuasaan. Dalam literatur Jawa, seperti karya Ranggawarsita dan kitab Dharma Gandul, Sabda Palon hadir sebagai representasi suara rakyat dan kesadaran spiritual yang melampaui zaman. Dalam konteks sejarah, Gus Marhaen menyebut nama Prabu Brawijaya sebagai salah satu raja yang mampu menggali makna Sabdo Palon.
Melalui keyakinan mendalam itu, Gus Marhaen kini tengah menyiapkan sebuah mahakarya berupa patung Sabdo Palon, yang digadang-gadang menjadi yang tertinggi di dunia. Proyek ini akan dibangun di atas lahan seluas setengah hektare di kawasan Ungasan, Badung, Bali. Selain menjadi simbol peradaban baru, patung ini dimaksudkan sebagai warisan spiritual dan budaya yang akan dikenang oleh generasi mendatang.
Motivasi Gus Marhaen dalam membangun patung ini bukan sekadar untuk dikenang sebagai pembuatnya. Ia menyebut proyek ini sebagai bentuk pengabdian yang melampaui tujuan sosial biasa. “Ini demi kedamaian dunia,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa patung tersebut akan diserahkan sepenuhnya kepada negara setelah selesai dibangun. Status kepemilikannya sudah diatur secara legal.
Mengenai pembiayaan, seluruh dana berasal dari dana pribadi Gus Marhaen. Tanpa dukungan APBD maupun APBN, ia menyebut proyek ini sebagai pengejawantahan keyakinannya terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan Sabdo Palon. Estimasi biaya pembangunan mencapai sekitar Rp200 miliar, di luar harga lahan. Jika ada pihak yang ingin turut mendukung atau menjadi sponsor, menurutnya, tidak tertutup kemungkinan.
Meski membangun patung yang mewakili sosok tertentu, Gus Marhaen tak melihat hal itu sebagai bentuk kontradiksi dari gagasan nilai yang abstrak. Justru, menurutnya, simbol visual diperlukan untuk memperjelas makna. Sosok itu bisa saja berupa Semar, Tualen, atau figur orang tua lainnya yang memiliki muatan nilai luhur. “Kalau saya tidak bikin sosok, bagaimana mewujudkan nilai-nilai itu?” ujarnya.
Nilai-nilai Sabdo Palon, katanya, bukan hal asing bagi masyarakat Indonesia. Di setiap agama dan falsafah Nusantara, istilah “sabdo” hadir sebagai firman, wahyu, atau suara ilahi yang membimbing manusia pada kebenaran. Sementara “Palon” ia maknai sebagai suara rakyat, representasi suara hati nurani kolektif.
Ia menyebut percakapan legendaris antara Sabdo Palon dan Syekh Subakir di Gunung Tidar sebagai contoh harmoni antar kepercayaan, yang juga merefleksikan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Sabda Palon, dalam kisah itu, memilih mundur demi kebaikan dan akan hadir kembali jika terjadi ketimpangan nilai. “Itulah keindahan dari Sabdo Palon. Ia mengalah untuk menang,” kata Gus Marhaen.
Menjawab slentingan bahwa proyek ini bisa saja dimaknai sebagai langkah egois demi legasi pribadi, Gus Marhaen justru menyandingkannya dengan jejak para tokoh besar dunia. “Bukankah kita mengenang Soekarno karena perjuangannya? Bukankah Borobudur dan Prambanan dikenang karena ada nama dan cerita di baliknya?” Ia menegaskan bahwa menyebut kata “legasi” bukanlah kesalahan, melainkan ekspresi kemanusiaan yang wajar.
Saat ini, proyek patung tersebut telah memasuki tahap awal, dimulai dengan penataan ornamen dan desain gedong suci. Meski besar dan ambisius, Gus Marhaen mengaku yakin proyek ini akan selesai, selama mendapat restu alam semesta. Ia menyebut keyakinannya sebagai “tebal”, dan bahwa proses ini merupakan bagian dari titah alam semesta yang tak bisa dielakkan.
“Kalaupun tidak selesai oleh saya, legasi itu tetap ada. Seperti Candi Borobudur yang tetap berdiri, meski siapa pembuatnya masih diperdebatkan,” tuturnya.
Untuk diketahui, Patung tertinggi di dunia saat ini adalah Statue of Unity, yang berdiri megah di Distrik Narmada, Gujarat, India. Patung ini menjulang setinggi 182 meter atau 597 kaki, dan jika dihitung bersama alasnya, tingginya mencapai 240 meter (790 kaki). Statue of Unity didedikasikan untuk mengenang Sardar Vallabhbhai Patel, tokoh persatuan India dan Menteri Dalam Negeri pertama negara tersebut.
Dengan ambisi membangun patung Sabdo Palon yang konon bakal melampaui ketinggian tersebut, publik pun mulai menaruh harap sekaligus rasa penasaran. Bukan semata karena ukurannya, tapi karena nilai-nilai luhur yang ingin diangkat lewat karya itu. Sabdo Palon bukanlah tokoh politik, bukan pula figur historis dalam pengertian umum, namun ia adalah lambang kesadaran kolektif Nusantara yang selama ini tersembunyi di balik riwayat dan mitologi.
Maka, menarik untuk dinantikan seperti apa wajah akhir dari patung yang digagas Gus Marhaen ini. Apakah ia akan benar-benar menjadi yang tertinggi di dunia? Atau, lebih jauh dari itu, apakah ia mampu menjadi mercusuar nilai dan peradaban, membangkitkan kembali suara-suara kebijaksanaan yang selama ini terpendam di rahim sejarah Nusantara?
Yang pasti, sebuah jejak telah ditorehkan. Bukan sekadar patung, melainkan panggilan zaman. (kbs)

