BerandaSeni BudayaDrama Gong Lawas “Menyala” di Panggung PKB 2025, Gubernur Koster Apresiasi Semangat...

Drama Gong Lawas “Menyala” di Panggung PKB 2025, Gubernur Koster Apresiasi Semangat Lestarikan Warisan Budaya Leluhur  Yang Penuh Pesan Moral

Foto: Gubernur Bali Wayan Koster bersama Ny. Putri Suastini Koster dan ribuan penonton begitu antusias menyaksikan Drama Gong Lawas yang membawa lakon “Sanan Tuak” di Panggung Terbuka Ardha Candra, Art Center Denpasar pada Rabu (2/7/2025).

Denpasar, KabarBaliSatu

Di bawah temaram langit malam Denpasar, Rabu (2/7/2025), Panggung Terbuka Ardha Candra kembali bersinar. Sorotan lampu menyapu wajah-wajah ribuan penonton yang duduk rapi, larut dalam kehangatan kisah lama yang dihidupkan kembali, kisah tentang kuasa, pengkhianatan, dan keberanian, dibalut tawa khas lawakan cerdas Drama Gong Lawas. Malam itu, Bali seolah berbicara lewat denting gamelan dan suara para seniman sepuh yang membawa lakon “Sanan Tuak” ke hadapan dunia.

Dan di antara mereka, Gubernur Bali Wayan Koster duduk tanpa jarak, tanpa protokol kaku, berdampingan dengan rakyat yang mencintai seni. Bersama sang istri, Ny. Putri Suastini Koster, ia menyimak pertunjukan bukan sebagai pejabat, melainkan sebagai bagian dari denyut budaya yang terus ia jaga dan rawat. Sejak Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI resmi dibuka pertengahan Juni lalu, sosok Koster memang tak pernah absen. Pagi hingga malam, ia berpindah dari satu panggung ke panggung lainnya, menyaksikan, mengapresiasi, dan memberi semangat langsung kepada para seniman.

Baca Juga  Nawasena, Nafas Baru Tradisi Bali di Panggung Nusantara

Pertunjukan “Sanan Tuak” malam itu menjadi panggung nostalgia yang sarat makna. Dibawakan oleh Paguyuban Peduli Seni Padsmagol Bali, drama ini menggambarkan perjuangan rakyat melawan kekuasaan yang dipenuhi tipu daya. Kisah tentang I Made Karuna yang bangkit membawa “sanan tuak”—sebuah pusaka warisan Ki Dukuh Tanggun Titi—menjadi simbol harapan, perlawanan, dan kekuatan moral dalam menghadapi penguasa zalim yang dikendalikan oleh patih licik.

Meskipun tokoh legendaris almarhum Nyoman Suberata (Petruk) tak lagi hadir, para seniman sepuh seperti Mongkeg, Komang Apel, Sang Ayu Ganti, hingga Gede Randana berhasil menghidupkan kembali ruh drama gong klasik. Suara mereka, gerak tubuh mereka, dan ekspresi jenaka mereka menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Panggung malam itu bukan sekadar hiburan, melainkan pengingat bahwa budaya Bali tidak pernah mati—ia hanya menunggu untuk kembali dipanggil.

Baca Juga  Tutup Bulan Bahasa Bali, Gubernur Koster Tegaskan Generasi Muda Bali Penjaga Terakhir Warisan Budaya Leluhur dan Identitas Bali

“Saya menyampaikan apresiasi yang setulus-tulusnya. Ini bukan sekadar pertunjukan seni. Ini adalah warisan leluhur yang sarat pesan dan harus terus kita hidupkan,” ujar Koster usai pertunjukan, matanya menatap panggung yang baru saja menggetarkan hati.

Bagi Ketua Paguyuban, Anak Agung Gede Oka Aryana, pementasan ini bukan hanya bentuk pelestarian. Ia adalah seruan untuk menghidupkan kembali cinta masyarakat terhadap drama gong, agar para seniman lawas kembali punya panggung, kembali punya ruang untuk berbicara kepada generasi hari ini.

Yang membedakan Koster dari sekadar pejabat adalah kehadirannya yang konsisten dan tulus. Ia tidak datang untuk memberi sambutan panjang atau berfoto semata. Ia hadir untuk duduk, menyimak, tertawa, terharu, dan berdiri memberi penghormatan saat tirai panggung ditutup. Seperti yang ia tegaskan, “Kita tidak bisa hanya menjaga budaya lewat pidato. Harus dengan kehadiran, perhatian, dan keberpihakan nyata.”

Baca Juga  Demer: Film Rahasia Rasa Bangkitkan Selera Makan Kuliner Tradisional

PKB bukan sekadar festival seni tahunan. Ia adalah cermin dari jiwa dan peradaban Bali. Dan malam itu, ketika gamelan mengalun dan para aktor berpentas di bawah cahaya Ardha Candra, masyarakat Bali melihat sesuatu yang lebih dari sekadar pertunjukan.

Mereka menyaksikan Gubernur Koster mereka menjadi bagian dari napas budaya itu sendiri, berada di garga terdepan menyalakan api warisan leluhur agar terus menyala dari generasi ke generasi.

Drama telah usai, tirai ditutup, tetapi gema pesan moral dan kekuatan budaya malam itu terus hidup di hati rakyat, dan di langkah pemimpinnya. (kbs)

 

Berita Lainnya

Berita Terkini