Foto: Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Bali, Gde Sumarjaya Linggih atau yang akrab disapa Demer.
Badung, KabarBaliSatu
Pulau Bali mengalami pemadaman listrik massal atau blackout pada Jumat (2/5/2025), bertepatan dengan persiapan umat Hindu menjelang Hari Raya Kuningan. Listrik mulai padam sejak pukul 16.00 WITA dan berlangsung hingga tengah malam, menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat serta operasional sejumlah fasilitas vital seperti rumah sakit, bandara, pelabuhan, hingga pusat perbelanjaan.
Blackout yang terjadi di tengah momen keagamaan ini memunculkan kekhawatiran akan ketahanan energi Bali, yang selama ini masih bergantung pada pasokan dari luar pulau. Sejumlah pihak pun angkat suara, salah satunya Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Bali, Gde Sumarjaya Linggih atau yang akrab disapa Demer.
Dalam wawancara via sambungan telepon, Anggota DPR RI Dapil Bali, Demer menegaskan pentingnya Bali segera membangun kemandirian energi. Ia menilai bahwa ketergantungan terhadap pasokan energi dari luar pulau membuat Bali rentan terhadap gangguan seperti pemadaman listrik yang baru saja terjadi. Sebagai destinasi wisata utama yang menopang ekonomi melalui sektor pariwisata, Bali memerlukan jaminan pasokan energi yang stabil untuk menjaga kenyamanan dan kepercayaan wisatawan.
“Pertama, memang perlu kemandirian energi Bali ini. Karena ya kalau yang namanya tergantung ya beginilah jadinya, kita ini kan kalau boleh dibilang Bali ini mahal. Maksudnya mahal karena menghasilkan turis dengan penunjang ekonomi lah yang banyak di Bali ini, apalagi di sektor pariwisata yang sangat rentan dengan yang disebut dengan kenyamanan,” ujar Anggota Fraksi Golkar DPR RI itu.
Demer menyebut bahwa sumber energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sangat memungkinkan untuk dikembangkan di Bali, bahkan bisa diimplementasikan hingga ke rumah tangga dan sektor perhotelan.
“Dan kalau di Bali kalau saya lihat sumber daripada energi terbarukan itu banyak. Ada PLTS ya, memungkinan, Tenaga Surya. Bahkan itu mungkin lebih diperbesar lagi sampai ke pribadi-pribadi di rumah-rumah gitu ya, yang harus diberikan keleluasaan untuk PLTS dan hotel,” tambah wakil rakyat yang sudah lima periode mengabdi di DPR RI memperjuangkan kepentingan Bali itu.
Tak hanya itu, politisi senior Partai Golkar tersebut juga menyoroti potensi pengelolaan sampah sebagai sumber energi terbarukan. Ia mendorong agar Bali mampu menjadikan permasalahan limbah sebagai solusi yang bernilai, dengan mengelola sampah menjadi energi alternatif. Menurutnya, pemanfaatan energi terbarukan seperti ini tidak hanya mendukung keberlanjutan lingkungan, tetapi juga dapat meningkatkan nilai ekonomi, termasuk bagi sektor perhotelan yang bisa menawarkan layanan berbasis energi hijau dengan nilai jual lebih tinggi.
“Yang kedua, ya tentu ada juga sampah yang jadi persoalan yang akan menjadi energi juga. Jadi dari persoalan bisa menjadi hal positif, sampah nanti bisa dikelola menjadi energi terbarukan. Dan energi terbarukan itu kalau pinter-pinter lagi hotelnya jual dengan energi terbarukan bisa harga hotelnya pun bisa lebih mahal,” jelas pengusaha sukses asal Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng itu.
Demer menegaskan komitmennya untuk membawa isu kemandirian energi Bali ke forum resmi DPR bersama PLN. Ia mendorong agar segera dirumuskan langkah strategis menuju pengembangan energi terbarukan di Bali. Menurutnya, wisatawan mancanegara sangat menghargai penggunaan energi ramah lingkungan dan bersedia membayar lebih untuk layanan yang berkelanjutan. Dengan kemandirian energi, Bali diharapkan tidak lagi mengalami pemadaman listrik menyeluruh, melainkan hanya bersifat lokal dan terbatas.
” Karena turis biasanya, biasanya turis, orang luar itu sangat menghargai dengan energi terbarukan. Dia berani lebih mahal bayar gitu, sehingga tidak terjadi keluhan kayak kemarin ini kalau kita mandiri. Jadi kalau mandiri mungkin sepotong-sepotong aja yang akan mati listrik,” ujar Demer yang dikenal getol memberdayakan para pengusaha UMKM Bali hingga dikenal sebagai pahlawan UMKM Bali.
Dampak ekonomi akibat blackout tersebut turut menjadi perhatian serius. Gangguan pada operasional penerbangan dan keterlambatan pesawat hanyalah sebagian dari konsekuensi yang timbul, sementara potensi kerugian ekonomi dinilai sangat besar meskipun belum ada angka resmi yang dirilis. Situasi ini, menurut Demer, dapat merusak citra pariwisata Bali jika terus berulang. Karena itu, upaya menuju kemandirian energi akan diusulkan dalam forum-forum resmi, sebagai langkah strategis untuk menghindari kerugian jangka panjang dan menjaga reputasi Bali sebagai destinasi wisata unggulan.
“Ya, itu sangat tinggi terdampak ekonominya karena juga bukan hanya jangka panjang saat ini, tapi kan jangka panjang kalau sering begini repot kita. Jadi image-nya kurang bagus tentang wisata kita. Oleh karena itu, maka kita segera mungkin nanti di dalam rapat-rapat saya akan mengusulkan untuk kemandirian daripada energi di Bali,” tutur wakil rakyat yang sudah lima periode mengabdi di DPR RI memperjuangkan kepentingan Bali itu.
Lebih lanjut, Demer menilai PLN dan pemerintah pusat perlu memberi ruang yang lebih luas bagi pembangunan pembangkit energi di Bali, termasuk memfasilitasi inisiatif swasta yang ingin membangun PLTS maupun pembangkit berbasis panas bumi.
“PLN harus memberikan keleluasaan untuk adanya pembangkit listrik lagi di Bali misalnya ya, pembangkit energi panas bumi masih memungkinkan, kedua tenaga surya, ya kan ada beberapa swasta yang sudah mengusulkan untuk membuat listrik tenaga surya, nah itu mungkin kuotanya ditambah lagi gitu, karena kondisi ini,” ungkap Demer.
Meski sempat menuai pro dan kontra di masa lalu, wacana pengembangan energi panas bumi atau geothermal di Bali dinilai masih layak untuk dikaji ulang. Isu sensitivitas lokasi pengeboran, khususnya yang berkaitan dengan kesucian gunung, menjadi salah satu perhatian utama. Oleh karena itu, Demer menilai bahwa pendekatan terhadap rencana ini perlu mempertimbangkan aspek teknis dan non-teknis, termasuk pandangan dari tokoh-tokoh spiritual. Jika secara spiritual masih dianggap memungkinkan dan secara teknis dapat diatur agar tidak merusak kawasan suci, maka opsi pemanfaatan energi geothermal tetap terbuka untuk dikembangkan di Bali.
” Kita coba lihat kaji baik secara teknis maupun secara non-teknis. Non-teknisnya ya mungkin kita melihat tetua yang patut dipercaya dalam bidang spiritual, bagaimana. Kalau masih memungkinkan, secara spiritualnya masih memungkinkan, tinggal secara teknisnya,” ujar Demer.
Sekali lagi Demer menegaskan bahwa pengembangan energi panas bumi di Bali harus mempertimbangkan aspek teknis dan kesakralan wilayah. Jika secara spiritual tidak memungkinkan berdasarkan Bhisama dan nilai-nilai adat, maka pemanfaatan energi geothermal tidak bisa dilanjutkan. Namun, Bali masih memiliki alternatif lain yang potensial, seperti energi tenaga surya dan pengolahan sampah menjadi energi, yang dinilai lebih sesuai dengan kondisi dan kearifan lokal.
” Tentu karena kesakralan Bali ya kalau memang Bhisama dan secara spiritual gak memungkinkan ya memang gak bisa kita memakai yang namanya geotermal itu. Tapi kan ada alternatif yang lain yaitu tenaga surya, tenaga berbasis sampah juga,” imbuh mantan Ketua Umum Kadin Bali tersebut.
Lebih lanjut, Demer menyoroti tantangan teknis dalam sistem ekspor-impor listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang pernah diterapkan. Ia mengungkapkan bahwa pada sistem sebelumnya, kelebihan listrik dari PLTS rumah tangga yang dijual ke PLN pada siang hari akan mengalami pemotongan hingga sekitar 40 persen akibat loss. Kondisi ini dinilai kurang menguntungkan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, ia mendorong PLN untuk mengkaji ulang skema tersebut demi kepentingan bersama di Bali. Jika sistem ekspor-impor listrik ini bisa dioptimalkan kembali dengan penggunaan meteran khusus, maka akan menjadi peluang besar bagi sektor swasta, termasuk rumah tangga dan perhotelan, untuk berkontribusi dalam pengembangan energi terbarukan secara lebih luas.
“Jadi harapan saya nanti mungkin bisa itu coba dikaji lagi oleh PLN untuk kepentingan kita bersama di Bali. Dan kalau itu bisa terjadi ya ada meteran yang ekspor-importnya mungkin akan sangat menarik sekali di Bali ini untuk swasta untuk mengembangkan diri, seperti rumah, seperti hotel,” pungkasnya. (kbs)