Foto: Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali dari Partai NasDem Ir. I Nengah Senantara saat kunjungan kerja reses ke projek KEK Mandalika di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Mandalika, KabarBaliSatu
Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali dari Partai NasDem Ir. I Nengah Senantara melaksanakan kunjungan kerja reses ke projek KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Mandalika di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kunker ini terkait evaluasi progres Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). PSN dan KEK diharapkan mendatangkan investor, kemandirian ekonomi dan pemerataan pembanguan di Indonesia serta membangkitkan sosial adat budaya setempat.
Hasil evaluasi, banyak hal yang harus diperbaiki dan diperjuangkan dengan berbagai pemegang kebijakan. Senantara menegaskan PSN dan KEK Mandalika harus mandiri, tidak lagi meminta support negara dalam pembiayaan ke depan.
Lebih lanjut, Senantara menekankan pentingnya kemandirian kawasan Mandalika sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurutnya, status tersebut menunjukkan bahwa pemerintah mengharapkan Mandalika mampu berkembang secara mandiri dari sisi ekonomi tanpa terus-menerus bergantung pada dukungan negara. Karena itu, diperlukan seleksi yang ketat terhadap para investor agar kawasan tersebut benar-benar menjadi motor penggerak ekonomi yang berkelanjutan.
“Yang pertama, kita harus pahami bahwa Lombok Tengah sudah diberikan predikat oleh negara sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Yang kedua, juga sudah diberikan label KEK. Itu artinya, harapannya negara adalah agar Mandalika bisa mandiri dari sisi ekonomi,” ujar Senantara.
Senantara yang juga Ketua DPW Partai NasDem Bali ini menambahkan bahwa berdasarkan penjelasan dari pihak pengelola, saat ini sudah banyak investor yang masuk ke Mandalika. Meski demikian, ia menegaskan bahwa proses seleksi terhadap investor tetap harus dilakukan secara ketat dan tidak sembarangan menerima semua pihak yang datang.
“Saya memberikan masukan, jangan semua yang datang diterima. Harus memenuhi persyaratan dan kriteria tertentu. Persyaratan utamanya adalah modal. Minimal Rp100 miliar ke atas, itu baru kita kategorikan sebagai investor,” tegas Senantara yang dikenal berjiwa sosial tinggi dan senang berbagi lewat tagline Senantara Peduli Senantara Berbagi.
Senantara mengungkapkan kekhawatirannya berdasarkan pengalaman di Bali, di mana banyak pihak asing dengan modal Rp10 miliar sudah dikategorikan sebagai investor. Padahal, menurutnya, masyarakat lokal pun banyak yang memiliki kemampuan modal serupa. Hal ini justru menggeser pelaku usaha lokal dari sektor jasa dan barang yang seharusnya menjadi ruang kontribusi mereka.
“Jadi fungsinya sebagai investor malah mengambil pekerjaan dan peluang dari orang lokal. Ini yang kita tidak mau terjadi di Mandalika,” ungkapnya.
Tak hanya soal modal, Senantara juga menekankan pentingnya pengaturan jenis usaha yang boleh digarap oleh pihak luar. Ia menilai, tanpa regulasi yang jelas, masyarakat lokal berisiko hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri.
“Kalau semua usaha diambil, kita sebagai penduduk lokal hanya akan jadi penonton. Ini yang tidak boleh terjadi di Mandalika,” katanya.
Senantara menyoroti pengalaman di Bali sebagai pelajaran penting yang harus dihindari di Mandalika. Menurutnya, ketiadaan regulasi yang tegas sejak awal di Bali telah membuka peluang bagi pihak asing yang tidak kredibel untuk masuk dan menguasai berbagai sektor usaha. Banyak di antara mereka yang sebenarnya hanya pelaku usaha kecil di negara asalnya, namun dapat dengan mudah mendapat status sebagai investor di Bali. Untuk itu, Senantara menegaskan perlunya aturan yang jelas di Mandalika, baik terkait jenis pekerjaan, jasa, maupun barang yang boleh dikelola oleh pihak luar, serta batas minimum nilai investasi yang harus dipenuhi.
“Di negaranya mungkin mereka hanya pedagang keliling atau pemilik usaha kecil, tapi saat masuk ke Bali bisa disebut investor. Kita tidak mau itu terjadi di Mandalika. Harus ada aturan yang jelas, baik jenis pekerjaan, jasa, maupun barang yang boleh dikuasai oleh pihak luar, dan nilai investasi minimum juga harus ditegaskan,” jelasnya.
Senantara juga menyoroti praktik para pihak yang mengaku sebagai investor padahal hanya berperan sebagai broker. Ia menyebut banyak kasus di mana izin usaha diperoleh hanya untuk kemudian dijual kembali ke pihak lain, menciptakan rantai perizinan yang tidak jelas dan merugikan negara.
“Kita khawatir, setelah dapat izin, ternyata diperjualbelikan. Seringkali mereka tidak punya uang, hanya broker yang mencari keuntungan dari izin. Ini sangat merugikan jika kuota kawasan habis hanya karena investor palsu,” katanya.
Menurutnya, ke depan perlu ada mekanisme agar calon investor menyetor dana terlebih dahulu sebagai bukti keseriusan dan kapasitas finansial yang jelas. Selain itu, ia menekankan pentingnya peran kepala daerah, seperti gubernur dan bupati, dalam menetapkan regulasi yang akan mengatur sektor usaha di kawasan tersebut.
“Kementerian yang bermitra dengan kita, terutama dari BUMN, harus memberi edukasi kepada pemerintah daerah mengenai aturan yang perlu diterapkan. Harus ada kejelasan sektor mana yang boleh diambil oleh investor luar dan mana yang harus diperuntukkan bagi pelaku usaha lokal,” jelasnya.
Dalam evaluasinya terhadap pelaksanaan MotoGP perdana di Mandalika, Senantara menyampaikan bahwa saat itu hampir seluruh pembiayaan disubsidi oleh negara. Subsidi tidak hanya berbentuk dana, tetapi juga mobilisasi penonton dari berbagai anak usaha BUMN.
“Perkembangannya menjadi semu. Kita tidak mau itu terjadi lagi. Mandalika harus mandiri, bukan terus-terusan disubsidi oleh negara,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa saat ini pengelolaan BUMN berada di bawah Danantara, yang tentu akan lebih selektif dalam penyaluran dana. Dengan perubahan struktur ini, Senantara berharap Mandalika benar-benar menjadi kawasan ekonomi mandiri yang tumbuh secara sehat.
“Kita ingin Mandalika tumbuh karena kekuatan ekonominya sendiri, bukan bantuan terus-menerus. Ini demi tujuan negara: pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” pungkasnya. (kbs)