Foto: Anggota Komisi I DPRD Bali sekaligus Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali, Made Supartha.
Badung, KabarBaliSatu
Langkah tegas pemerintah dalam menertibkan puluhan usaha ilegal di kawasan Pantai Bingin, Kabupaten Badung, mendapat dukungan penuh dari Anggota Komisi I DPRD Bali sekaligus Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali, Made Supartha. Ia menyatakan bahwa penertiban tersebut merupakan komitmen nyata pemerintah dalam menjaga supremasi hukum, ketertiban tata ruang, serta keberlanjutan Bali dalam jangka panjang.
Menurut Supartha, langkah ini bukan semata-mata untuk menghentikan kegiatan usaha, melainkan sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan yang berlandaskan prinsip keadilan. Ia menegaskan bahwa peran yudikatif sangat penting dalam mendukung pelaksanaan pembangunan daerah, khususnya dalam aspek penataan ruang dan perizinan yang selama ini sering diabaikan.
“Penegakan hukum hari ini bukan hanya untuk menertibkan bangunan, tapi juga bentuk nyata perlindungan masyarakat dari risiko fisik dan kerugian ekonomi akibat bangunan ilegal yang berdiri di zona rawan bencana,” ujar Supartha.
Dari hasil pendataan, ditemukan sekitar 48 unit usaha tanpa izin resmi di sepanjang Pantai Bingin. Jenis usaha yang ditertibkan meliputi vila, homestay, restoran, hingga kafe yang beroperasi tanpa memenuhi ketentuan perizinan dan tata ruang. Selain melanggar aturan zonasi, keberadaan usaha-usaha ini juga dinilai tidak memberikan kontribusi ekonomi yang sah kepada daerah karena tidak membayar pajak dan retribusi.
Supartha menegaskan bahwa penertiban ini merupakan tindak lanjut dari laporan masyarakat serta hasil evaluasi berulang dalam forum rapat kerja DPRD Bali. Rekomendasi yang dihasilkan kemudian diperkuat oleh eksekutif karena pelanggaran yang terjadi melibatkan banyak aspek, mulai dari Undang-Undang Penataan Ruang, regulasi ketinggian bangunan, hingga Peraturan Daerah tentang filosofi arsitektur Bali.
“Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Kalau ada yang membiarkan kegiatan ilegal terus berlangsung, maka itu juga bentuk pembiaran yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum,” tegasnya.
Lebih lanjut, Supartha menyoroti lemahnya tanggung jawab para pengusaha yang mengelola bangunan ilegal tersebut. Ia mengungkapkan bahwa banyak dari mereka tidak hanya beroperasi tanpa izin, tetapi juga mempekerjakan tenaga kerja secara tidak resmi dan mengabaikan kewajiban pelaporan kepada pemerintah.
“Ketika mereka untung bertahun-tahun, tidak pernah melapor. Tapi saat ditertibkan baru merasa dizalimi. Ini kawasan konservasi yang harus dikembalikan ke fungsi semula,” katanya.
Meski mengakui bahwa penertiban ini berpotensi menimbulkan dampak sosial, Supartha menegaskan bahwa pemerintah tetap membuka ruang dialog selama semua pihak tunduk pada hukum yang berlaku. Ia menyebut legalisasi usaha tetap bisa dipertimbangkan asalkan sesuai dengan tata ruang yang sah dan memenuhi semua syarat administratif.
“Kalau ada ruang usaha yang sah secara hukum, pemerintah akan fasilitasi. Tapi semua warga negara punya hak dan kewajiban yang sama. Tidak bisa satu kelompok terus melanggar dan kemudian minta perlakuan khusus,” ujarnya.
Supartha menegaskan bahwa pembongkaran di Pantai Bingin hanyalah awal dari proses penataan menyeluruh yang akan diterapkan di seluruh wilayah Bali. Pemerintah daerah, lanjutnya, tengah menjalankan visi besar pembangunan Bali 100 tahun ke depan yang berpedoman pada filosofi Nangun Sat Kerthi Loka Bali.
“Ini bukan soal mematikan usaha, tapi memastikan bahwa usaha berjalan di tempat yang benar, berizin, dan memberi kontribusi nyata bagi daerah. Hanya dengan penataan menyeluruh seperti inilah Bali bisa tetap lestari dan berkelanjutan,” ungkapnya.
Ia juga menyampaikan apresiasi atas kehadiran langsung pimpinan daerah, termasuk Gubernur Bali dan Bupati Badung, dalam proses penertiban tersebut.
“Ini adalah salah satu bukti beliau hadir, pimpinan kita, melihat langsung bagaimana banyak sekali usaha-usaha ilegal yang berdiri liar di wilayah kita,” ucap Supartha.
Ia menegaskan bahwa pemerintah telah menyusun konsep pembangunan Bali dengan fondasi filosofis dan perencanaan jangka panjang.
“Kalau kita bicara pariwisata Bali, pemerintah daerah sudah membuat konsep berbasis filosofi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Ini sudah dipikirkan untuk 100 tahun ke depan,” katanya.
Supartha juga menegaskan pentingnya konsistensi dalam penegakan hukum, tanpa ada perbedaan perlakuan antara satu wilayah dan wilayah lain.
“Kalau di tempat lain ada kejadian seperti di Pantai Bingin, harus ditindak dengan cara yang sama. Tidak boleh ada disparitas, tidak boleh tebang pilih,” pungkasnya.
Sebelumnya Gubernur Bali, Wayan Koster, menegaskan bahwa bangunan-bangunan yang dibongkar itu berdiri di atas lahan milik Pemerintah Kabupaten Badung yang masuk dalam kawasan hijau dan sama sekali tidak memiliki izin. “Bangunan ini melanggar Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota mengenai tata ruang. Tidak ada satu pun yang berizin. Pemerintah sudah mengirimkan Surat Peringatan 1, 2, dan 3, namun tidak diindahkan,” ujar Koster.
Ia menambahkan, jenis bangunan yang dibongkar meliputi vila, restoran, homestay, penginapan, dan bangunan wisata lainnya yang dibangun tanpa hak atas tanah dan tanpa izin lingkungan. “Kami melindungi masyarakat, tapi tidak bisa membiarkan pelanggaran terjadi di atas tanah negara. Ini bukan soal tidak melindungi, tapi soal ketertiban hukum,” tegas Koster.
Gubernur Koster juga menyampaikan bahwa Pemprov Bali tengah menyiapkan tim audit dan investigasi terhadap seluruh izin usaha pariwisata di Bali, guna memastikan tidak ada pelanggaran serupa yang terulang. Ia juga berjanji pemerintah akan memikirkan nasib para karyawan yang terdampak pembongkaran.
Sementara itu, Bupati Badung, I Wayan Adi Arnawa, menjelaskan bahwa pembongkaran ini merupakan tindak lanjut dari inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Komisi I DPRD Provinsi Bali pada 6 Mei 2025 lalu. Dari sidak tersebut ditemukan bahwa sejumlah bangunan berdiri di atas tanah negara dan melanggar berbagai regulasi penting, salah satunya adalah UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
“Pasal 35 UU tersebut menyatakan bahwa zona sempadan pantai dan pesisir merupakan kawasan lindung yang tidak boleh dikomersialisasikan tanpa izin. Selain itu, Peraturan Gubernur Bali Nomor 24 Tahun 2020 juga secara tegas melarang pendirian bangunan di sempadan pantai dan tebing,” jelas Adi Arnawa.
Ia menegaskan, proses pembongkaran dilakukan setelah melalui prosedur sesuai perundang-undangan, termasuk dialog dengan para pelaku usaha yang telah menyadari bahwa usaha mereka berdiri di atas tanah negara. “Kami tidak ujug-ujug melakukan eksekusi. Semua ada prosesnya, ada pendekatan, dan ada komunikasi. Bahkan para pelaku usaha mengakui sendiri posisi legalitas tanah mereka,” katanya.
Bupati Adi Arnawa menambahkan, pembongkaran ini bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga bagian dari strategi jangka panjang untuk membangun pariwisata Badung yang berkualitas, berbasis budaya, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
“Kami ingin ke depan, pariwisata Badung tidak hanya mengejar kuantitas kunjungan wisatawan, tetapi juga kualitas lingkungan dan kelestarian kawasan. Pantai Bingin adalah ikon wisata yang harus dijaga demi masa depan yang lebih baik,” tegasnya. (kbs)