Foto: Wakil Bupati Klungkung Tjokorda Gde Surya Putra saat menyaksikan penampilan Sekaa Gong Kebyar Dewasa Kanya Gita di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Art Center, Denpasar, Kamis (10/7).
Denpasar, KabarBaliSatu
Gema kendang, tabuh, dan tarian magis Sekaa Gong Kebyar Dewasa Kanya Gita dari Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, membelah malam Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025 di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Art Center, Denpasar, Kamis (10/7). Ribuan penonton memenuhi kalangan, menyambut hangat penampilan para seniman muda duta Klungkung itu.
Turut hadir menyaksikan langsung pertunjukan tersebut, Wakil Bupati Klungkung Tjokorda Gde Surya Putra, jajaran pejabat Pemkab Klungkung, serta Gubernur Bali Wayan Koster, yang larut dalam kekayaan estetika seni tradisi yang ditampilkan.
Dalam kesempatan ini, Kanya Gita tampil bersama Sekaa Gong Kebyar Seni Sundaran dari Desa Sayan, Kabupaten Gianyar. Kedua duta kabupaten itu menjadi magnet dalam jadwal pertunjukan PKB malam itu, menunjukkan identitas kuat daerah masing-masing lewat komposisi musik dan tarian yang kaya makna.
Tabuh Nem “Kebo Landung” Buka Pertunjukan dengan Energi Simbolik
Penampilan Kanya Gita diawali dengan komposisi Tabuh Nem Pegongan Sikut Anyar bertajuk Kebo Landung, karya komposer I Putu Agus Darmajaya. Tabuh ini mengambil inspirasi dari dua versi klasik tabuh lelambatan dari wilayah Tangkas, Klungkung dan Kubu, Bangli.
Kebo Landung digambarkan sebagai sosok kerbau dengan anatomi tak lazim — metafora dari ketidakwajaran yang justru menyimpan kekuatan unik. Komposisi ini mengolah elemen musikal klasik menjadi sajian kontemporer, penuh dinamika dan energi yang mencerminkan ketangguhan dan keunikan karakter “kerbau besar” tersebut.
Tari Kebyar Sangrad: Spirit “Jaje Sarad” dalam Gerak Dinamis
Dilanjutkan dengan tari kreasi Kebyar Sangrad, penampilan kedua Kanya Gita mengangkat ikon lokal yang sangat sakral: Jaje Sarad, simbol persembahan dalam upacara Nyepi Segara di Desa Kusamba.
Tari ini menggambarkan filosofi Tri Hita Karana—harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan—melalui wujud persembahan sederhana namun sarat makna. Karya tari ini merupakan sentuhan kreatif dari koreografer muda Ni Putu Vikky Aldelia, yang sukses menterjemahkan nilai spiritual menjadi tarian yang estetis dan kontemplatif.
Fragmen “Eling Tanpa Eling”: Tafsir Artistik atas Luka Lautan
Sebagai puncak pertunjukan, Kanya Gita menyuguhkan fragmen tari “Eling Tanpa Eling”, sebuah renungan simbolik yang mengetuk kesadaran kolektif. Tari ini menyentuh persoalan spiritual dan ekologis: manusia yang melakukan yadnya—ritual suci untuk penyucian diri dan alam—namun tanpa sadar mencemari laut lewat sisa-sisa upacara yang dibuang ke perairan.
Makna eling tanpa eling mencerminkan paradoks kesadaran: kita ingat melakukan kebaikan, tapi abai terhadap dampaknya. Laut, yang sejatinya disucikan, justru menerima luka dan tangisan akibat tangan manusia sendiri.
Pesan Luhur dalam Balutan Seni
Penampilan Sekaa Gong Kebyar Kanya Gita malam itu bukan sekadar pertunjukan, tetapi juga penyampaian pesan moral dan spiritual yang kuat. Melalui musik dan tari, mereka menyuarakan identitas lokal, spiritualitas Bali, sekaligus kritik ekologi yang relevan dengan kondisi kekinian.
Klungkung kembali menunjukkan kelasnya sebagai gudang seniman bernas yang tidak hanya piawai dalam teknik, tetapi juga tajam dalam menyampaikan gagasan. Di panggung Ardha Candra, Kanya Gita tampil bukan hanya sebagai duta daerah, tetapi sebagai suara nurani masyarakat Bali hari ini. (kbs)