Foto: Anggota Komisi VI DPR RI Ir. I Nengah Senantara saat Raker dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Selasa (8/7/2025).
Jakarta, KabarBaliSatu
Komisi VI DPR RI menggelar rapat kerja bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan agenda pembahasan Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2024, serta Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) untuk Tahun Anggaran 2026. Rapat yang berlangsung pada Selasa (8/7/2025) itu memunculkan sejumlah catatan kritis dari anggota dewan, salah satunya dari Ir. I Nengah Senantara, anggota Komisi VI DPR RI dari Dapil Bali, Fraksi NasDem.
Dalam rapat tersebut, Senantara menyampaikan apresiasi atas capaian positif kinerja Kementerian BUMN selama tahun 2024. Namun, ia tak menutup mata terhadap persoalan serius yang terus menghantui BUMN, yakni korupsi yang nyaris menjadi “penyakit kronis”.
“Pertama tentu saya apresiasi atas kinerja Menteri BUMN sepanjang tahun 2024, sangat positif pertumbuhannya. Walaupun perlu ada perbaikan-perbaikan,” ujar Senantara yang juga Ketua DPW Partai NasDem Provinsi Bali.
Ia juga menyatakan dukungannya terhadap alokasi anggaran untuk Kementerian BUMN yang mencapai Rp604 miliar, bahkan jika diajukan lebih pun tetap didukung. Namun di sisi lain, Senantara menilai penganggaran besar itu harus disertai dengan upaya serius memberantas korupsi.
“Nah tetapi catatan khusus buat BUMN. Ini barangkali ya bahasa klasiknya, hampir semua BUMN ada korupsinya. Semua. Tidak terkecuali,” tegas pengusaha sukses yang dikenal dengan tagline Senantara Berbagi Senantara Peduli.
Lebih lanjut, Senantara menyinggung pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir dalam berbagai kesempatan yang menyebut bahwa korupsi di BUMN sulit untuk dihindari. Bagi Senantara, pernyataan itu seperti “melempar handuk” dalam pertarungan tinju.
“Nah kalau kita bertarung di tinju ya, kalau sudah melempar handuk seperti itu, berarti ada yang tidak beres ini di BUMN,” ujarnya.
Ia pun secara satiris mengusulkan solusi tak biasa, mengimpor tenaga profesional dari luar negeri untuk menangani korupsi di BUMN.
“Pak Menteri kan terkenal juga dengan bolanya. Bola yang biasanya mengimpor pemain. Ini sekadar barangkali masukan juga. Kalau memang di BUMN sulit untuk menghilangkan korupsinya, barangkali kita impor saja, sama dengan pemain bola,” kata Senantara.
Ia menyampaikan kekhawatiran mendalam terhadap struktur kelembagaan di tubuh BUMN yang dinilainya memberi ruang subur bagi praktik korupsi. Hal ini diperparah dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 yang menempatkan posisi Komisaris dan Direksi BUMN di luar kategori penyelenggara negara, sehingga tidak berada dalam jangkauan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kondisi ini dinilai menciptakan potensi konflik antar lembaga pengawasan, yang apabila tidak diantisipasi, bisa menimbulkan ketidakseimbangan dan bahkan merusak tatanan negara.
“Artinya apa? KPK tidak bisa masuk urusan korupsinya. Ini ada super body lagi. Di BUMN ada super body dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025. KPK-nya juga super body. Nanti kita khawatir super body berperang dengan super body, negara kita akan menjadi hancur,” tandasnya.
Senantara kemudian meminta klarifikasi langsung dari Menteri Erick Thohir terkait pengecualian posisi direksi dan komisaris BUMN dari status penyelenggara negara, padahal menurutnya mereka mengelola keuangan publik.
“Nanti mohon penjelasan Pak Menteri kenapa ada bahasa bahwa Komisaris dan Direksi BUMN tidak termasuk dalam penyelenggara negara. Padahal secara garis besar yang dikelola itu kan uangnya negara,” pungkasnya. (kbs)