Foto: Gubernur Bali, Wayan Koster, saat resmi membuka peringatan Bulan Bung Karno VII Tahun 2025 dalam sebuah seremoni penuh semangat di Ardha Candra, Art Center, Denpasar, Minggu (1/6).
Denpasar, KabarBaliSatu
Gubernur Bali, Wayan Koster, resmi membuka peringatan Bulan Bung Karno VII Tahun 2025 dalam sebuah seremoni penuh semangat di Ardha Candra, Art Center, Denpasar, Minggu (1/6). Acara ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan bentuk nyata penghormatan rakyat Bali terhadap warisan pemikiran Soekarno, Sang Proklamator dan Bapak Bangsa.
Kehadiran jajaran pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, pelajar, dan pemuda dari seluruh penjuru Bali menandakan kuatnya simpul kebangsaan yang tetap menyala di Pulau Dewata.
Nasionalisme Tidak Boleh Luntur
Dalam pidatonya, Gubernur Koster menegaskan bahwa Bulan Bung Karno adalah ruang kultural dan politik untuk mengenang sekaligus menghidupkan kembali ajaran-ajaran Bung Karno yang visioner—dari Trisakti hingga Pancasila sebagai dasar negara. “Ini bukan hanya penghargaan atas sejarah, tapi juga panggilan untuk melanjutkan perjuangan,” tegas Koster.
Ia mengingatkan bahwa Soekarno bukan hanya orator ulung, tetapi juga tahanan politik yang menghabiskan lebih dari 11 tahun hidupnya dalam penjara dan pengasingan demi Indonesia merdeka. Di Ende, Flores, Bung Karno menggali nilai-nilai luhur bangsa yang kemudian dirumuskan sebagai Pancasila—sebuah pidato monumental yang disampaikannya di hadapan BPUPKI pada 1 Juni 1945.
Tak heran, Juni dijadikan momentum khusus:
- 1 Juni: Hari Lahir Pancasila
- 6 Juni: Hari Lahir Bung Karno
- 21 Juni: Hari Wafat Bung Karno
Bali Jadi Teladan Nasionalisme Berbasis Kearifan Lokal
Melalui Peraturan Gubernur Bali No. 19 Tahun 2019, Koster menginstitusionalisasi Bulan Bung Karno sebagai agenda tahunan yang tak hanya mengenang sejarah, tetapi juga menanamkan nasionalisme lewat pendekatan budaya lokal.
Tahun ini, tema yang diusung adalah “Prana Jagat Kerthi”, yang bermakna ajaran Bung Karno merupakan bagian dari harmoni agung semesta. Tema ini bersinergi dengan visi pembangunan Bali: Nangun Sat Kerthi Loka Bali, yang menekankan enam sumber kesejahteraan: Atma, Segara, Danu, Wana, Jana, dan Jagat Kerthi.
“Pembangunan Bali harus berakar dari spiritualitas, kelestarian alam, kemanusiaan, dan budaya. Kita tidak hanya memperingati Bung Karno, tetapi menjadikannya roh kebijakan,” jelas Koster.
Perayaan dengan Sentuhan Kreativitas dan Ideologi
Bulan Bung Karno 2025 juga diwarnai berbagai lomba yang menyasar generasi muda agar tetap terkoneksi dengan nilai-nilai kebangsaan, seperti:
- Lomba Musikalisasi Puisi: Sudah Ber-Ibu Kembali
- Lomba Film Pendek: Berdikari Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal Bali
- Lomba Film Dokumenter: Ketahanan Budaya Bali di Tengah Globalisasi
Dengan total hadiah sebesar Rp115.500.000, acara ini dirancang tak hanya menggugah kreativitas, tapi juga menumbuhkan kesadaran politik dan budaya sejak dini.
Seruan untuk Milenial dan Gen Z
Menutup pidatonya, Gubernur Koster menyampaikan pesan yang kuat dan menyentuh bagi generasi muda: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah—Jas Merah. Ajaran Bung Karno bukan masa lalu, tapi energi masa depan.”
Ia menyerukan agar semangat gotong royong, persatuan, dan keadilan sosial terus dijaga dan diwariskan. Setelah menandatangani Kata Mutiara Bung Karno dan menabuh Kendang Bali, Koster secara simbolis menandai dimulainya peringatan Bulan Bung Karno ke-7 di Bali.
Politik Kebudayaan untuk Masa Depan
Bulan Bung Karno bukan sekadar panggung nostalgia. Di tangan Koster, peringatan ini dimaknai sebagai politik kebudayaan—di mana ajaran Bung Karno diaktualisasikan dalam kebijakan publik dan pembangunan daerah. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap banalitas nasionalisme instan yang hanya hidup di spanduk, bukan di kebijakan.
Dengan integrasi ideologi, budaya, dan pembangunan, Bali menegaskan dirinya sebagai provinsi yang tak hanya spiritual dan eksotik, tetapi juga progresif dan ideologis.
Bulan Bung Karno 2025 pun tak hanya menjadi catatan sejarah, tapi juga peta jalan menuju Bali yang suci, harmonis, sejahtera, dan bahagia—sesuai cita-cita Bung Karno tentang Indonesia yang berdikari, berdaulat, dan berkepribadian dalam kebudayaan. (kbs)