Oleh: Ayu Dwi Yulianthi, Mahasiswa S3 Ilmu Akuntansi Universitas Pendidikan Ganesha, Bali
Di berbagai wilayah di Bali kita semakin sering menyaksikan fenomena pembangunan yang tampak “berulang” dan tampak kurang terkoordinasi: jalan yang baru dibangun atau diperbaiki dengan anggaran cukup besar, kemudian dalam waktu relatif singkat dibongkar kembali karena proyek lain yang memerlukan jalan tersebut atau utilitas baru. Fenomena ini tidak hanya soal pemborosan fisik, tetapi juga menyentuh persoalan tata kelola anggaran, integrasi kebijakan, serta nilai-nilai budaya masyarakat Bali yang sering terlupakan.
Menurut data, misalnya, alokasi anggaran perbaikan jalan rusak di Provinsi Bali naik menjadi Rp 571,2 miliar untuk tahun 2025 — naik sekitar Rp 99,2 miliar dibanding alokasi sebelumnya. Sementara itu, pada skala yang lebih besar, sejumlah mega-proyek infrastruktur strategis yang akan dimulai tahun 2026 di Bali telah disetujui senilai sekitar Rp 1,549 triliun. Pada sisi pelaksanaan, ditemukan bahwa di sejumlah daerah kualitas pekerjaan jalan masih dipertanyakan — sebagai contoh di Nusa Penida, kontraktor dinilai melakukan hot-mix tipis dan bergelombang untuk proyek senilai Rp 2 miliar. Jika kita memandang dari kerangka akuntansi berbasis sosiokultural, maka jelas bahwa angka anggaran dan laporan keuangan saja tidak cukup untuk menilai “keberhasilan” pembangunan. Karena pembangunan di Bali tidak boleh dilihat sebagai sekadar output fisik, melainkan juga sebagai proses yang harus menghormati ruang sosial-budaya, filosofi lokal, dan tanggung jawab terhadap lingkungan.
Problem utama yang muncul
- Tumpang-tindih proyek dan pemborosan
Jalan yang baru diperbaiki dengan dana APBD atau DAK kemudian dibongkar kembali karena proyek lain (misalnya utilitas, pelebaran, underpass). Hal ini mencerminkan kurangnya koordinasi antar instansi dan kurangnya perencanaan lintas sektoral.
- Akuntabilitas hanya angka—tanpa nilai budaya
Mungkin laporan keuangan menunjukkan bahwa anggaran terserap dan proyek berjalan, tetapi apakah masyarakat merasakan manfaatnya? Apakah kekhasan budaya dan kearifan lokal (seperti konsep Tri Hita Karana) dihormati dalam pelaksanaan?
- Kualitas pelaksanaan yang meragukan
Sebagaimana di Nusa Penida, proyek jalan dengan anggaran miliaran rupiah justru menghasilkan kualitas yang tidak layak. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah kontrol kualitas dan evaluasi sosial-budaya sudah dilakukan dengan baik?
- Implikasi sosial dan budaya yang terlupakan
Ketika masyarakat lokal melihat pembangunan yang “boros” dan mengganggu aktivitas (macet, gangguan utilitas, ruang adat tersentuh), maka kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah dan proses pembangunan menurun — ini berdampak pada harmoni sosial yang menjadi nilai penting di Bali.
Menghubungkannya dengan akuntansi berbasis sosiokultural
Akuntansi berbasis sosiokultural memperluas cakupan analisis akuntansi tradisional: bukan hanya laporan keuangan dan kinerja fiskal, tetapi juga nilai-nilai budaya, keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan partisipasi masyarakat. Penerapan kerangka ini di konteks Bali menuntut agar setiap proyek infrastruktur tidak hanya dicatat sebagai aset dan belanja, tetapi juga dievaluasi dari sisi:
- partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam perencanaan,
- kesesuaian dengan nilai-nilai seperti Tri Hita Karana (harmoni manusia–alam–Tuhan),
- dampak sosial dan budaya jangka panjang, dan
- apakah manfaat proyek benar-benar dirasakan masyarakat tanpa menimbulkan disrupsi budaya.
Rekomendasi untuk pembangunan yang lebih berbudaya dan akuntabel
- Perencanaan lintas instansi yang terintegrasi, sehingga utilitas, jalan, drainase, dan infrastruktur lainnya direncanakan dalam satu paket agar tidak terjadi bongkar ulang.
- Keterlibatan masyarakat adat dan lokal dalam tahap perencanaan hingga evaluasi, memastikan suara mereka didengar dan budaya dihormati.
- Audit dan evaluasi ganda: selain audit keuangan, dilakukan audit budaya dan keberlanjutan — menilai apakah proyek menghormati ruang sosial dan filosofi lokal.
- Indikator keberhasilan yang diperluas: tidak hanya “serapan anggaran” atau “kilometer jalan selesai”, tapi lebih luas ke “kepuasan masyarakat”, “gangguan minimal terhadap aktivitas adat”, “keharmonisan lingkungan”.
- Transparansi dan pelaporan publik yang mudah diakses, agar masyarakat bisa melihat bagaimana anggaran digunakan dan apa dampaknya terhadap komunitas mereka.
Sebagai penutup:
Pulau Bali, dengan keunikan budaya dan kearifan lokalnya, tidak pantas menjadi tempat pembangunan yang hanya mengedepankan angka. Jalan yang dibangun lalu dibongkar lagi bukan hanya soal kerugian materi, tetapi juga soal potensi kerusakan kepercayaan masyarakat terhadap proses pembangunan. Sudah saatnya kita menerapkan pembangunan dengan akal sehat, keterbukaan, dan hati yang menyatu dengan budaya — agar setiap rupiah yang dibelanjakan benar-benar menjadi berkah bagi masyarakat Bali. (kbs)

