Foto: Ketua DPD Golkar Bali, yang juga Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali, Gde Sumarjaya Linggih alias Demer, didampingi Sekretaris DPD I Golkar Bali, I Dewa Gede Dwi Mahayana Putra Nida (Dewa Wiwin).
Denpasar, KabarBaliSatu
Program pengelolaan sampah menjadi energi listrik atau Waste to Energy (WTE) akan segera diluncurkan pada awal November 2025. Inisiatif besar ini digagas oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) di bawah kepemimpinan CEO Rosan Roeslani.
Program WTE akan menjadi salah satu proyek strategis nasional di bidang energi terbarukan. Rencananya, proyek ini akan dikembangkan di 33 kota di seluruh Indonesia, dengan 10 kota pertama ditetapkan sebagai lokasi tahap awal karena dinilai sudah siap menjalankan program tersebut.
Beberapa kota yang masuk dalam daftar prioritas itu antara lain Tangerang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Bali, dan Makassar.
Di Bali, proyek WTE akan dibangun di kawasan Pelindo, Benoa, dan diharapkan menjadi solusi jangka panjang atas persoalan darurat sampah yang selama ini mencoreng citra pariwisata Pulau Dewata serta mengancam keberlanjutan lingkungannya.
Ketua DPD Golkar Bali, Gde Sumarjaya Linggih alias Demer, yang ditemui disela acara Musda Golkar Denpasar pada Minggu (12/10/2025), menyambut positif rencana tersebut. Ia menilai WTE sebagai langkah konkret dan realistis untuk menjawab tantangan pengelolaan sampah di Bali, khususnya di Kota Denpasar.
“Kebetulan saya mendalami hal itu. Jadi, kalau kita lihat, ada sekitar seribu ton sampah per hari di Denpasar. Dari jumlah itu, bisa menghasilkan kurang lebih 15 megawatt energi,” ujar Demer.
Menurut Anggota Komisi VI DPR RI dapil Bali ini, potensi energi dari tumpukan sampah di Bali sangat besar. Selain dari sampah harian, gunungan sampah yang sudah lama menumpuk pun masih bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi.
“Saya juga mendengar bahwa gunungan sampah yang ada sekarang itu bisa diambil sekitar seribu ton per hari, dan hasilnya juga sama, sekitar 15 megawatt. Bahkan, dari gundukan itu saja, butuh waktu 15 tahun untuk benar-benar habis. Jadi kalau ada dua sumber, saya rasa 30 megawatt sudah bisa dihasilkan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Politisi senior Golkar asal Desa Tajun, Kabupaten Buleleng itu menjelaskan bahwa pemerintah melalui Danantara akan memberikan dukungan berupa subsidi untuk menarik minat investor. Skema tersebut menaikkan nilai jual listrik dari proyek Waste to Energy dari 13 sen menjadi 20 sen per kilowatt jam. Ia menilai penyesuaian ini sangat realistis dan cukup menguntungkan bagi pelaku usaha, sehingga diyakini akan meningkatkan ketertarikan investor untuk berpartisipasi dalam proyek tersebut.
“Saya melihat angkanya, angkanya itu akan disubsidi oleh pemerintah melalui Danantara, dari 13 sen menjadi 20 sen. Nah, ini sangat masuk akal. Sebenarnya 13 sen saja sudah cukup reasonable bagi pengusaha, apalagi sekarang menjadi 20 sen. Dengan nilai itu, saya rasa banyak yang berminat untuk menjadi investor,” katanya.
Ia menambahkan, minat investor terhadap proyek WTE terbilang sangat tinggi. Berdasarkan data terakhir, terdapat sekitar 200 peserta yang telah menyatakan siap mengikuti proses tender. Pada tahap awal, proyek ini akan dikembangkan di enam lokasi yang telah ditetapkan sebagai titik prioritas pelaksanaan.
“Kemarin, disebutkan sudah ada sekitar 200 peserta yang akan ikut dalam tender proyek Waste to Energy. Untuk tahap pertama ini, ada 6 titik lokasi yang akan dikembangkan,” ungkapnya.
Berbeda dengan sistem sebelumnya, Demer menjelaskan bahwa pelaksanaan proyek Waste to Energy kini menerapkan skema Business to Business (B2B), bukan lagi sepenuhnya bergantung pada proyek pemerintah. Melalui mekanisme ini, kerja sama dilakukan langsung antara pihak PLN dan para investor. Ia menilai sistem tersebut akan membuat proses pelaksanaan lebih efisien, karena apabila ada pihak yang tidak memenuhi kinerja, dapat segera digantikan oleh pihak lain. Terlebih, dengan jumlah peminat yang mencapai lebih dari 200 peserta, peluang percepatan proyek dinilai semakin besar.
“Kalau dulu sistemnya belum berbasis B2B, sekarang sudah jelas berbasis B2B. Jadi, kerja samanya langsung antara pihak PLN dan dengan yang invest. Saya rasa dengan sistem seperti ini pelaksanaannya akan lebih cepat, karena kalau salah satu pihak tidak perform, bisa segera diganti dengan pihak lain, apalagi peminatnya saya dengar ada lebih dari 200,” paparnya.
Selain aspek bisnis, Demer juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan, ekologi, dan sosial dalam setiap pelaksanaan proyek Waste to Energy. Ia menjelaskan bahwa ketentuan tarif sebesar 20 sen ditetapkan karena adanya persyaratan ketat terkait penerapan konsep zero emission. Konsep ini menuntut agar proses pengolahan sampah tetap berada dalam batas polusi yang sesuai dengan standar internasional, sehingga tidak menimbulkan bau maupun asap yang mengganggu.
“Tentu saja, kita tidak boleh mengabaikan aspek lingkungan, ekologi, dan sosial. Itu sangat penting. Itulah sebabnya kenapa tarifnya bisa sampai 20 sen. Syarat utamanya adalah zero emission. Zero emission artinya memang masih ada sedikit polusi, tapi masih dalam batas-batas standar internasional, sehingga tetap disebut zero emission. Jadi baunya, asapnya itu yang zero,” tutupnya.
Dengan dukungan pemerintah dan minat besar dari kalangan swasta, proyek WTE diharapkan dapat menjadi tonggak baru pengelolaan sampah di Indonesia, tidak hanya menekan volume sampah, tetapi juga memberikan manfaat nyata dalam bentuk energi bersih dan berkelanjutan. (kbs)